TEKNIK PENERAPAN TEORI PADA PENELITIANTriyanto CAWS
Sebelum membahas mengenai aplikasi penggunaan teori pada penelitian kualitatif ini, terlebih dahulu saya sampaikan beberapa hal berkaitan hal ini. Burhan Bungin, pada saat memberikan kuliah umum di aula Universitas Teuku Umar tahun 2018 mengemukakan bahwa "semestinya penelitian kualitatif tidak menggunakan teori. Namun faktanya banyak peneliti dan juga penelitian skripsi berbasis kualitatif banyak yang menggunakan teori. Bahkan termasuk kampus-kampus besar yang ada di Indonesia ini dan tidak perlu kita sebutkan nama-nama kampus besar tersebut". Sempat terjadi tanya jawab antara Bungin sebagai narasumber kuliah umum dengan beberapa mahasiswa khususnya yang sedang menyusun tugas akhir berupa skripsi. Karena faktanya di kampus kita sendiri juga menerapkan hal demikian. Maksudnya, penelitian-penelitian kualitatif yang seharusnya menemukan teori (Bungin) justeru digunakan sebagai pisau bedah, dan juga digunakan sebagai frame of work. "Kenapa kita harus membesarkan nama orang lain yang memiliki teori itu kalau memang kita konsen dalam penelitian kualitatif?"kata BUngun. Begitulah kira-kira yang coba diungkapkan dalam tanya jawab pada saat itu.
Saya sempat juga bertemu dan diskusi kecil dengan seorang penulis buku penelitian kualitatif yang memiliki background sosiologi di Senggigi Lombok Nusa Tenggara Timur, kebetulan beliau juga dosen sosiologi di salah satu perguruan tinggi terkenal di Surabaya Jawa Timur (maaf tidak saya sebut nama), beliau menyebutkan dalam bukunya yang telah saya baca bahwa teori diperlukan dalam penelitian kualitatif. Pada saat diskusi kecil tersebut, beliau masih tetap berpegang bahwa penelitian kualitatif sangat bisa menerapkan teori yang sudah ada, dan bukan hanya menemukan teori saja. Tentu ini memiliki perspektif yang berbeda, yakni menggunakan teori sebagai alat analisis pembahasan. Hal ini juga selaras dengan pandangan Prof Misri (2014) dari UIN Arraniry Banda Aceh bahwa teori itu dapat diumpamakan sebagai cetakan kue, sementara adonannya adalah data-data yang sudah diolah sebelum dicetak dengan teori yang digunakan. Dengan demikian nanti akan ada kue brownis berbentuk lingkaran, brownis berbentuk kotak, demikian seterusnya. Jadi penelitian dengan data yang sama, obyek penelitian yang sama, dianalisis dengan teori yang berbeda maka akan menghasilkan bentuk yang berbeda juga meskipun memiliki aroma dan rasa yang sama.
Khusus dalam pembahasan kita, kebetulan fisip dan juga khususnya Sosiologi menganut versi kedua yakni menggunakan teori sebagai pisau bedah dan membentuk hasil sesuai dengan teori yang digunakan. Sekaligus mengasah kemampuan mahasiswa dalam menerapkan teori dalam pembahasan suatu masalah. Setidaknya poin dua ini juga didukung pendapat sosiolog-sosiolog yang juga menulis buku metode penelitian.
Berdasarkan uraian di atas sudah jelas ya.., bahwa teori digunakan sebagai pisau bedah atau alat analisis. Nah sekarang kita coba melihat bagaimana penerapannya. Kita ambil contoh teori yang memiliki indikator agak banyak misalnya teori interaksi simbolik. Kita ambil pandangan Herbert Mead yang juga konsentrasi pada 4 (empat) indikator yakni rangsangan, persepsi, manipulasi, dan aksi.
Namun, selain indikator yang 4 itu, pendapat Mead yang dikutip Ritzer tersebut juga menyebutkan simbol sebagai gerakan suatu isyarat dan bahasa. Gerakan-gerakan dan isyarat-isyarat yang dilakukan seseorang merupakan simbol yang bisa direspon oleh orang yang lainnya. Untuk merespon dengan tepat gerakan isyarat tersebut, maka kesepakatan antar sesama, sehingga simbol-simbol berupa gerakan isyarat itu benar-benar dapat diterjemahkan.
Indikator yang empat di atas merupakan basis dan tahapan tindakan yang saling berhubungan. Rangsangan atau impuls merupakan tahap pertama, impuls adalah dorongan hati di mana meliputi rangsangan spontan yang berhubungan dengan alat indera, selain rangsangan, impuls juga meliputi reaksi aktor atau kebutuhan melakukan aksi terhadap rangsangan. Ritzer (2010) dalam bukunya berjudul Teori Sosiologi Modern memberikan contoh berkenaan dengan pandangan Mead tersebut. Pandangan Mead mengenai impuls ini dijelaskan dengan bagaimana manusia memiliki rangsangan akan kebutuhan lapar dalam perutnya.Bisa juga digambarkan seperti bagaimana manusia melihat bayam yang tumbuh dengan subur dan sehat, kemudian bagaimana tergiur untuk menikmatinya.
Tahap kedua adalah persepsi, di mana aktor menyelidiki rangsangan yang berhubungan dengan impuls. Artinya aktor tidak langsung secara spontan menanggapi rangsangan tetapi rangsangan itu dipikirkan dan dinilai melalui bayangan mental. Dengan demikian suatu rangsangan bisa memiliki beberapa dimensi dan aktor bisa memilih diantaranya. Melanjutkan gambaran setelah impuls di atas, maka tahapan ini manusia memiliki pandangan mengenai bayam. Bagaimana rasanya, bagaimana kemungkinan untuk dikonsumsi, karena manusia memiliki pengetahuan mengenai tumbuhan apa saja yang bisa dan boleh dimakan untuk memenuhi kebutuhan akan impuls di atas.
Ketiga adalah manipulasi (manipulation), dalam hal ini aktor mengambil tindakan berkenaan dengan obyek. Tindakan ini bukan merupakan tindakan terakhir, tetapi tindakan aktor terhadap obyek atau aktor melakukan manipulasi pada obyek. Misalnya, manusia yang melihat bayam sebagai bahan makanan. Manusia tidak langsung memakannya tetapi dimanipulasi seperti dibuat jenis masakan tertentu lebih dahulu. Artinya sebelum manusia memakan bayam manusia melakukan sesuatu agar bayam siap untuk dikonsumsi. Ada beberapa pilihan untuk bisa menikmati bayam tadi, apakah dibuat sebagai keripik bayam, bakwan bayam, sayur bening, atau dengan menu masakan lainnya agar bayam terasa lebih nikmat.
Tahap keempat adalah konsumsi, tindakan keempat ini merupakan tahapan pelaksanaan. Pelaksanaan ini merupakan tindakan memuaskan dorongan hati. Bayam yang sudah dimasak dengan berbagai menu piliha tersebut siap untuk dinikmati, pada saat menikmati tersebut merupakan tahap terakhir dari teori interaksi simbolik Herbert Mead.
Nah, pada tahap penyusunan interview guide kemarin kita sudah mengakomodir indikator dari teori untuk dijadikan dasar penyusunan interview guide. Jadi data tentunya akan kita dapatkan jawaban-jawaban yang bisa dikategorikan sebagai jawaban yang bisa dimasukkan sebagai impuls (rangsangan) orang dalam berinteraksi. Jadi rangsangannya apa saja yang membuat orang berinteraksi. Kemudian juga jawaban-jawaban yang dikategorikan sebagai persepsi. Maksudnya, apa saja persepsi orang terhadap rangsangan tadi, berikutnya jawaban yg dikategorikan sebagai manipulasi. Maksudnya bagaimana saja orang melakukan manipulasi terhadap persepsi tadi, adapun tujuan manipulasi adalah agar bisa dilakukan aksi.
Jika diurutkan maka akan terbentuk konsep bahwa seseorang memiliki rangsangan, kemudian rangsangan itu dipersepsikan sehingga ada pemahaman, setelah itu dimanipulasi agar bisa dilakukan aksi. Jika dicontohkan bahwa seorang pendatang terangsang untuk melakukan interaksi dengan masyarakat lokal. Kemudian dia memiliki persepsi-persepsi, anggap saja salah satunya contoh adalah bahwa masyarakat lokal ini akan mudah berinteraksi jika pendatang mau menggunakan adat istiadat masyarakat lokal dan dianggap seidentitas. Untuk itu dia melakukan manipulasi seperti adat istiadat dia, ditinggalkan dengan mengganti adat baru yang berlaku di tempat barunya, atau bisa jadi dia gabungkan. Setelah itu selesai dilakukan manipulasi, ingat manipulasi disini bukan diartikan manipulasi menipu/mencurangi, tapi diartikan sebagai “mengolah”/ “bagaimana caranya”. Dengan mengikuti adat istiadat masyarakat setempat maka ia akan mudah diterima masyarakat, karena masyarakat menganggap ia sama atau seidentitas.
Saran:
agar dapat memahami lebih detil mengenai teori silahkan baca buku-buku teori sosiologi