Proses Adaptasi Warga Masyarakat Peranakan Etnis Tionghoa Setelah Menjadi
Muallaf.
Proses adaptasi muallaf peranakan etnis Tionghoa di Aceh
Barat dengan lingkungannya dianalisis dengan teori Interaksi Simbolik, di mana
teori ini memiliki 4 (empat) tahapan, di mulai dari impuls, perception, manipulation, dan consummation.[1]
Keempatnya saling berkaitan sebagai suatu proses yang harus dijalani
orang-orang yang melakukan interaksi sebagai aksi dari sebuah adaptasi. Tahap
demi tahap tersebut juga merupakan rangkaian tindakan manusia yang berdasarkan
pada pemahaman atas simbol yang diterima. Setiap simbol memiliki makna
tersendiri yang dapat diterjemahkan, simbol yang sering dipergunakan manusia
sehari hari adalah gerak isyarat tubuh dan bahasa, dengan isyarat dan bahasa
orang dapat bertindak untuk memberikan respon yang tepat. West dan Turner
mengatakan:
Orang tergerak untuk
bertindak berdasarkan makna yang diberikannya pada orang, benda dan peristiwa.
Makna-makna ini diciptakan dalam bahasa yang digunakan orang baik untuk
berkomunikasi dengan orang lain, maupun dengan dirinya sendiri, atau pikiran
pribadinya. Bahasa memungkinkan orang untuk mengembangkan perasaan mengenai
diri dan untuk berinteraksi dengan orang lainnya dalam sebuah komunitas.[2]
a.
Impuls (Stimuli) Pada Interaksi
Simbolik
Proses
adaptasi peranakan etnis Tionghoa dengan orang Aceh setelah menjadi muallaf
diawali dengan kesadaran dirinya sebagai seorang manusia yang tidak bisa
terlepas dari orang lain. Sehari-hari setiap orang selalu berhubungan dengan
orang yang lainnya, hubungan tersebut bisa secara langsung maupun tidak
langsung. Baju yang dipakai seseorang, adalah hasil kerjasama antar beberapa
orang, seperti seorang petani yang menanam tanaman yang menghasilkan kapas. Dari
kapas menjadi sebuah kain diperlukan beberapa orang yang bekerja mengangkut
kapas ke pabrik, orang-orang yang memintal kapas menjadi benang, orang-orang
yang bekerja di pabrik tenun, orang-orang yang menjahit kain menjadi sebuah
baju, bahkan orang-orang yang bekerja sebagai penjual pakaian, akhirnya baju
itu dapat dipakai setiap orang, bahkan setiap hari orang selalu berganti baju.
Manusia merupakan makhluk
sosial, di mana dalam kehidupan antara satu dengan lainnya saling mempengaruhi.
Setiadi mengatakan,”Manusia adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang di dalam
hidupnya tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh manusia lain”.[3]
Besarnya pengaruh yang diberikan seorang manusia kepada yang lainnya bisa kecil
tetapi juga pengaruh yang besar. Setiadi memberikan gambaran bahwa ketika
seseorang pergi ke kampus atau ke tempat lain, tidak bisa seenaknya menggunakan
pakaian menurut kehendak sendiri. Harus memilih warna-warna tertentu yang
dianggap cocok, memilih bentuk-bentuk atau model-model tertentu yang dianggap sopan,
dan hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan karena akan mempengaruhi orang lain
dalam menilai diri. Hal ini membuktikan adanya pengaruh orang lain terhadap
cara-cara berpakaian.
Muallaf
peranakan etnis Tionghoa di Aceh Barat juga menyadari bahwa kehidupan antara
orang yang satu dengan yang lainnya perlu saling berinteraksi, saling mendukung
dan bekerjasama untuk mempertahankan kehidupannya. Dalam realitanya, interaksi
dan kerjasama demi mempertahankan hidup tidak mudah dilakukan oleh setiap orang
baik secara individu maupun kelompok. Hal ini disebabkan karena berbagai
perbedaan yang berawal dari etnis (suku bangsa) seperti perbedaan nilai-nilai,
norma, aturan, bahasa, adat istiadat, kesenian dan lain-lainnya. Perbedaan demi
perbedaan apabila tidak dikelola dengan baik, maka akan menjadi potensi konflik
yang sulit untuk diselesaikan. Perbedaan harus dapat dipergunakan untuk
memperkuat kerjasama umat manusia untuk saling berinteraksi dan beradaptasi sehingga
manusia dapat bertahan hidup dengan lebih baik.
Dalam
teori interaksi simbolik, kesadaran peranakan etnis Tionghoa bahwa seorang
manusia membutuhkan orang lain adalah stimuli atau impuls sebagai awal penentu dari aksi atau tindakan yang akan
dilakukan seseorang setelah melalui tahapan-tahapan berikutnya seperti perception, manipulation, dan
consummation. Perbedaan-perbedaan tadi akan dipersepsikan oleh orang-orang
yang menerima stimuli atau rangsangan. Impuls
yang diterima dan diberikan muallaf peranakan etnis Tionghoa dalam
kehidupan sehari-hari dapat dicontohkan ketika akan memenuhi kebutuhan akan
makanan. Untuk dapat makan, seorang manusia memerlukan orang lainnya, perlu
orang yang membantu berbelanja bahan makanan. Di pasar atau di toko juga
dibutuhkan orang yang menjual sayuran, beras, ikan, daging, bumbu dan lain
sebagainya. Bahkan jika tidak memasak sendiri seseorang tetap memerlukan orang
lain seperti penjual makanan, dan penjual makanan juga memerlukan orang lainnya
untuk menyediakan bahan makanan yang akan dimasak dan dijualnya.
Pada
aktivitas acara adat istiadat, seseorang akan tampak lebih membutuhkan orang
lain, karena pekerjaan yang harus dipenuhi ketika melakukan aktivitas adat
istiadat tersebut lebih kompleks dalam waktu yang hampir bersamaan. Sebagai
contoh dalam hal acara adat seperti ketika THg melaksanakan acara hajatan
perkawinan untuk anaknya, THg sangat membutuhkan saudara dan tetangga untuk
mengurus berbagai macam keperluan.
Semua saudara dan tetangga-tetangga
ke rumah membantu. Adatnya setiap tetangga akan melaksanakan hajatan, pasti
tetangga akan dilibatkan. Kita sendiri kan tidak sanggup melakukan acara
seperti itu, kita tidak punya
perlengkapan dan peralatan untuk acara-acara hajatan besar, jadi harus sewa ke
orang. Pakaian pengantin kan harus sewa ke tempat penyewaan, hidangan makanan
untuk tamu kan juga dibantu tetangga, intinya semua orang membantu acaranya
sampai selesai.[4]
Acara
tradisi seperti hajatan perkawinan anaknya, THg harus melibatkan saudara dan
tetangga. Anggota keluarga tidak sanggup melaksanakan hajatan perkawinan tanpa
bantuan saudara, tetangga dan orang-orang yang berkaitan dengan acara tersebut.
Perkawinan pada masyarakat Islam di Indonesia mengharuskan keberadaan saksi dan
penghulu demi keabsahan perkawinan secara hukum negara. THg sekeluarga juga tidak sanggup memasak
sendirian untuk hidangan tamu yang datang memenuhi undangan, untuk itu diperlukan
saudara-saudara dan tetangga. Bahkan ketika THg ingin pekerjaan itu lebih
sederhana, dengan menyewa katering yang
ada di seputar Kota Meulaboh, itu juga berarti melibatkan orang lain dalam
mensukseskan acara hajatannya.
Kesadaran
THg memerlukan orang lain ini, juga disadari oleh setiap orang yang ada di
setiap etnis, di setiap daerah atau gampoeng
dan di mana saja di setiap ada kelompok-kelompok sosial. Manusia sebagai
makhluk yang hidup berkelompok sangat peduli antara satu dengan yang lainnya.
Dalam beberapa kasus, masyarakat kurang peduli dengan sebuah keluarga yang
sedang melakukan suatu hajatan atau kenduri.
Hal ini biasanya berdasarkan pada kehidupan keluarga tersebut yang juga
kurang peduli dengan orang lainnya. Interaksi timbal balik dan kehidupan saling
mempengaruhi sering berlaku dalam kehidupan masyarakat. Untuk itu, setiap orang
berusaha menjalin hubungan baik dengan orang lainnya agar mampu bertahan hidup
dan menjadi lebih baik dalam kehidupan sehari-hari. Dengan berinteraksi yang
baik dengan masyarakat sekitarnya, maka kebutuhan akan orang lain akan dapat
dipenuhi, untuk itu menyesuaikan diri merupakan cara terbaik untuk
berinteraksi.
Selain
perbedaan nilai-nilai, norma, adat-istiadat dan agama, juga disadari bahwa antara
orang Aceh dengan peranakan etnis Tionghoa juga banyak perbedaan cara memandang
karakter kedua etnis. Orang Aceh memandang peranakan etnis Tionghoa dengan
karakter-karakter yang tidak disukai, demikian pula sebaliknya, pada umumnya
peranakan etnis Tionghoa juga memiliki pandangan yang juga dikatakan kurang
menyukai beberapa karakter yang dimiliki orang Aceh. Perbedaan seperti ini juga
disadari oleh muallaf, untuk itu stigma-stigma negatif perlu dikikis untuk
membuka diri agar kemampuan berinteraksi menjadi lebih baik.
[1] George Ritzer dan Douglas J.
Goodman, Teori Sosiologi …, hal. 274-276
[2] Richard West dan Lynn H. Turner,
Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan
Aplikasi, Ed. Nina Setyaningsih (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), hal. 98.
[3] Elly M. Setiadi et all., Ilmu Sosial dan …, hal.
67.
[4] Wawancara dengan THg tanggal 30
Maret 2014.