Senin, 07 Juni 2021

Contoh Penerapan Impuls

 

Proses Adaptasi Warga Masyarakat Peranakan Etnis Tionghoa Setelah Menjadi Muallaf.

Proses adaptasi muallaf peranakan etnis Tionghoa di Aceh Barat dengan lingkungannya dianalisis dengan teori Interaksi Simbolik, di mana teori ini memiliki 4 (empat) tahapan, di mulai dari impuls, perception, manipulation, dan consummation.[1] Keempatnya saling berkaitan sebagai suatu proses yang harus dijalani orang-orang yang melakukan interaksi sebagai aksi dari sebuah adaptasi. Tahap demi tahap tersebut juga merupakan rangkaian tindakan manusia yang berdasarkan pada pemahaman atas simbol yang diterima. Setiap simbol memiliki makna tersendiri yang dapat diterjemahkan, simbol yang sering dipergunakan manusia sehari hari adalah gerak isyarat tubuh dan bahasa, dengan isyarat dan bahasa orang dapat bertindak untuk memberikan respon yang tepat. West dan Turner mengatakan:

Orang tergerak untuk bertindak berdasarkan makna yang diberikannya pada orang, benda dan peristiwa. Makna-makna ini diciptakan dalam bahasa yang digunakan orang baik untuk berkomunikasi dengan orang lain, maupun dengan dirinya sendiri, atau pikiran pribadinya. Bahasa memungkinkan orang untuk mengembangkan perasaan mengenai diri dan untuk berinteraksi dengan orang lainnya dalam sebuah komunitas.[2]   

 Simbol-simbol baik yang terdapat dalam gerak isyarat maupun bahasa seperti dikatakan West dan Turner tersebut, sering ditemui dan berkaitan dengan kehidupan sehari-hari muallaf peranakan etnis Tionghoa. Namun adaptasi muallaf peranakan etnis Tionghoa di Aceh Barat tidak hanya sebatas memahami bahasa dan gerak isyarat tubuh manusia saja, tetapi juga simbol-simbol bahasa yang ada dalam norma atau aturan, adat istiadat,  dan budaya Aceh, dengan memahaminya maka akan memudahkan dalam interaksi dan beradaptasi. Interaksi yang dilakukan sekaligus membuktikan kemampuan adaptasi muallaf terhadap masyarakat Aceh yang beragama Islam.   

 

a.    Impuls (Stimuli) Pada Interaksi Simbolik

Proses adaptasi peranakan etnis Tionghoa dengan orang Aceh setelah menjadi muallaf diawali dengan kesadaran dirinya sebagai seorang manusia yang tidak bisa terlepas dari orang lain. Sehari-hari setiap orang selalu berhubungan dengan orang yang lainnya, hubungan tersebut bisa secara langsung maupun tidak langsung. Baju yang dipakai seseorang, adalah hasil kerjasama antar beberapa orang, seperti seorang petani yang menanam tanaman yang menghasilkan kapas. Dari kapas menjadi sebuah kain diperlukan beberapa orang yang bekerja mengangkut kapas ke pabrik, orang-orang yang memintal kapas menjadi benang, orang-orang yang bekerja di pabrik tenun, orang-orang yang menjahit kain menjadi sebuah baju, bahkan orang-orang yang bekerja sebagai penjual pakaian, akhirnya baju itu dapat dipakai setiap orang, bahkan setiap hari orang selalu berganti baju.

Manusia merupakan makhluk sosial, di mana dalam kehidupan antara satu dengan lainnya saling mempengaruhi. Setiadi mengatakan,”Manusia adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang di dalam hidupnya tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh manusia lain”.[3] Besarnya pengaruh yang diberikan seorang manusia kepada yang lainnya bisa kecil tetapi juga pengaruh yang besar. Setiadi memberikan gambaran bahwa ketika seseorang pergi ke kampus atau ke tempat lain, tidak bisa seenaknya menggunakan pakaian menurut kehendak sendiri. Harus memilih warna-warna tertentu yang dianggap cocok, memilih bentuk-bentuk atau model-model tertentu yang dianggap sopan, dan hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan karena akan mempengaruhi orang lain dalam menilai diri. Hal ini membuktikan adanya pengaruh orang lain terhadap cara-cara berpakaian.

Muallaf peranakan etnis Tionghoa di Aceh Barat juga menyadari bahwa kehidupan antara orang yang satu dengan yang lainnya perlu saling berinteraksi, saling mendukung dan bekerjasama untuk mempertahankan kehidupannya. Dalam realitanya, interaksi dan kerjasama demi mempertahankan hidup tidak mudah dilakukan oleh setiap orang baik secara individu maupun kelompok. Hal ini disebabkan karena berbagai perbedaan yang berawal dari etnis (suku bangsa) seperti perbedaan nilai-nilai, norma, aturan, bahasa, adat istiadat, kesenian dan lain-lainnya. Perbedaan demi perbedaan apabila tidak dikelola dengan baik, maka akan menjadi potensi konflik yang sulit untuk diselesaikan. Perbedaan harus dapat dipergunakan untuk memperkuat kerjasama umat manusia untuk saling berinteraksi dan beradaptasi sehingga manusia dapat bertahan hidup dengan lebih baik.

Dalam teori interaksi simbolik, kesadaran peranakan etnis Tionghoa bahwa seorang manusia membutuhkan orang lain adalah stimuli atau impuls sebagai awal penentu dari aksi atau tindakan yang akan dilakukan seseorang setelah melalui tahapan-tahapan berikutnya seperti perception, manipulation, dan consummation. Perbedaan-perbedaan tadi akan dipersepsikan oleh orang-orang yang menerima stimuli atau rangsangan. Impuls yang diterima dan diberikan muallaf peranakan etnis Tionghoa dalam kehidupan sehari-hari dapat dicontohkan ketika akan memenuhi kebutuhan akan makanan. Untuk dapat makan, seorang manusia memerlukan orang lainnya, perlu orang yang membantu berbelanja bahan makanan. Di pasar atau di toko juga dibutuhkan orang yang menjual sayuran, beras, ikan, daging, bumbu dan lain sebagainya. Bahkan jika tidak memasak sendiri seseorang tetap memerlukan orang lain seperti penjual makanan, dan penjual makanan juga memerlukan orang lainnya untuk menyediakan bahan makanan yang akan dimasak dan dijualnya.

Pada aktivitas acara adat istiadat, seseorang akan tampak lebih membutuhkan orang lain, karena pekerjaan yang harus dipenuhi ketika melakukan aktivitas adat istiadat tersebut lebih kompleks dalam waktu yang hampir bersamaan. Sebagai contoh dalam hal acara adat seperti ketika THg melaksanakan acara hajatan perkawinan untuk anaknya, THg sangat membutuhkan saudara dan tetangga untuk mengurus berbagai macam keperluan.

Semua saudara dan tetangga-tetangga ke rumah membantu. Adatnya setiap tetangga akan melaksanakan hajatan, pasti tetangga akan dilibatkan. Kita sendiri kan tidak sanggup melakukan acara seperti itu,  kita tidak punya perlengkapan dan peralatan untuk acara-acara hajatan besar, jadi harus sewa ke orang. Pakaian pengantin kan harus sewa ke tempat penyewaan, hidangan makanan untuk tamu kan juga dibantu tetangga, intinya semua orang membantu acaranya sampai selesai.[4]

 

Acara tradisi seperti hajatan perkawinan anaknya, THg harus melibatkan saudara dan tetangga. Anggota keluarga tidak sanggup melaksanakan hajatan perkawinan tanpa bantuan saudara, tetangga dan orang-orang yang berkaitan dengan acara tersebut. Perkawinan pada masyarakat Islam di Indonesia mengharuskan keberadaan saksi dan penghulu demi keabsahan perkawinan secara hukum negara.  THg sekeluarga juga tidak sanggup memasak sendirian untuk hidangan tamu yang datang memenuhi undangan, untuk itu diperlukan saudara-saudara dan tetangga. Bahkan ketika THg ingin pekerjaan itu lebih sederhana, dengan  menyewa katering yang ada di seputar Kota Meulaboh, itu juga berarti melibatkan orang lain dalam mensukseskan acara hajatannya. 

Kesadaran THg memerlukan orang lain ini, juga disadari oleh setiap orang yang ada di setiap etnis, di setiap daerah atau gampoeng dan di mana saja di setiap ada kelompok-kelompok sosial. Manusia sebagai makhluk yang hidup berkelompok sangat peduli antara satu dengan yang lainnya. Dalam beberapa kasus, masyarakat kurang peduli dengan sebuah keluarga yang sedang melakukan suatu hajatan atau kenduri. Hal ini biasanya berdasarkan pada kehidupan keluarga tersebut yang juga kurang peduli dengan orang lainnya. Interaksi timbal balik dan kehidupan saling mempengaruhi sering berlaku dalam kehidupan masyarakat. Untuk itu, setiap orang berusaha menjalin hubungan baik dengan orang lainnya agar mampu bertahan hidup dan menjadi lebih baik dalam kehidupan sehari-hari. Dengan berinteraksi yang baik dengan masyarakat sekitarnya, maka kebutuhan akan orang lain akan dapat dipenuhi, untuk itu menyesuaikan diri merupakan cara terbaik untuk berinteraksi.

Selain perbedaan nilai-nilai, norma, adat-istiadat dan agama, juga disadari bahwa antara orang Aceh dengan peranakan etnis Tionghoa juga banyak perbedaan cara memandang karakter kedua etnis. Orang Aceh memandang peranakan etnis Tionghoa dengan karakter-karakter yang tidak disukai, demikian pula sebaliknya, pada umumnya peranakan etnis Tionghoa juga memiliki pandangan yang juga dikatakan kurang menyukai beberapa karakter yang dimiliki orang Aceh. Perbedaan seperti ini juga disadari oleh muallaf, untuk itu stigma-stigma negatif perlu dikikis untuk membuka diri agar kemampuan berinteraksi menjadi lebih baik.





[1] George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi …,  hal. 274-276

[2] Richard West dan Lynn H. Turner, Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi, Ed. Nina Setyaningsih (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), hal. 98.

[3] Elly M. Setiadi et all., Ilmu Sosial dan …,  hal. 67.

[4] Wawancara dengan THg tanggal 30 Maret 2014.