Perception (Persepsi) Pada Interaksi
Simbolik
Tahap kedua
setelah impuls atau stimuli adalah persepsi, di mana muallaf peranakan
etnis Tionghoa memiliki persepsi-persepsi tertentu terhadap stimuli yang ada. Persepsi
yang tepat akan menghasilkan tindakan yang tepat pula, sehingga adaptasi dengan
lingkungan akan dapat tercapai dengan baik. Impuls
bahwa seorang manusia memerlukan orang yang lainnya juga dipersepsikan
bahwa orang-orang yang diperlukan di sekitarnya ternyata memiliki perbedaan
dengan dirinya. Perbedaan yang paling jelas adalah perbedaan mengenai etnis
sehingga nilai-nilai dasar, norma-norma, adat-istiadat, bahasa, agama dan
lain-lainnya juga berbeda. Pada masyarakat Aceh, perbedaan agama menjadi sangat
sensitif, artinya ketika orang-orang di lingkungannya non muslim, maka orang
Aceh kecenderungannya waspada terhadap aktivitas tetangga tersebut. Bahkan
ketika seorang anak dari etnis Aceh menjadi murtad, maka yang terjadi mirip
dengan peranakan etnis Tionghoa ketika menjadi muallaf, yaitu dibuang. Hri mengatakan,
“orang Aceh juga bertindak seperti orang Tionghoa kalau anaknya berpindah
agama, bahkan juga orang Islam di sekitarnya
”.[1]
Peranakan etnis Tionghoa, pada dasarnya memiliki kebudayaan
yang berbeda dengan kebudayaan masyarakat Aceh pada umumnya. Menyadari adanya
perbedaan kebudayaan tersebut, maka muallaf peranakan etnis Tionghoa yang telah terusir dari keluarga berusaha
untuk menyesuaikan dengan masyarakat Aceh yang hidup di sekitarnya. Perbedaan
dalam kebudayaan sering meliputi pada seluruh wujudnya sebagai gejala
kebudayaan, tetapi dalam hal tertentu ada satu, dua atau bahkan tiga wujud
sebagai gejala budaya tersebut bisa jadi sama antara budaya yang satu dengan
yang lain. Tiga gejala budaya yang dimaksud adalah; ideas, activities dan artifacts.[2] Dalam
gejala kebudayaan tadi, terkandung unsur-unsur kebudayaan yang disebut Koentjaraningrat
salah satunya adalah sistem religi, atau keyakinan (agama). Keyakinan yang
berbeda, akan melahirkan gejala aktivitas kebudayaan yang berbeda. Salah satu
perbedaan pada gejala pertama sebagai kompleks ideas adalah aturan-aturan
atau norma-norma yang berbeda. Seorang muslim dan Yahudi dilarang (haram)
mengkonsumsi daging babi, sementara itu orang-orang Kong Hu Cu atau agama
lainnya diperbolehkan. Seorang pemeluk Hindu dilarang mengkonsumsi daging sapi,
sementara pada agama lain tidak dilarang.[3]
Perbedaan-perbedaan itu bukan hanya dalam hal makanan apa yang diperbolehkan
dan dilarang, tetapi juga tatacara beribadah, tempat ibadah, cara
berpakaian, dan lain sebagainya.
Mengenai konsumsi makanan tertentu, peranakan etnis Tionghoa
di Aceh Barat semula tidak haram ketika mengkonsumsi daging babi, setelah
menjadi muallaf harus menyesuaikan dirinya untuk tidak mengkonsumsi daging
babi, meskipun dengan tantangan yang berat. Tantangannya ketika melihat dan
mencium harumnya masakan daging itu, namun secara tegas harus ditinggalkan
seperti dikatakan IMi:
Saya mencium masakan yang ada disitu, baunya harum sekali dan menggoda untuk dimakan. Mereka tanya “kamu muslim atau bukan? kalau muslim jangan cokeh (sentuh), kalau bukan Islam, makan saja”. Ternyata dugaan saya benar, bahwa bau harum itu adalah masakan daging babi.[4]
Masakan yang harum baunya sangat menggoda selera IMi,
keinginan untuk mencicipi muncul seketika. Namun IMi menyadari bahwa saat itu
sedang berada di rumah adik ayahnya yang masih beragama lain, sehingga IMi
harus mampu menahan diri agar tidak memakan makanan yang diharamkan dalam agama
Islam yang telah dianutnya. Hal terpenting adalah bahwa IMi telah memiliki
persepsi bahwa ada makanan-makanan tertentu yang tidak boleh dimakan sesuai
dengan aturan agama yang baru. Persepsi seperti ini sebenarnya bagi sebagian
peranakan etnis Tionghoa, sesungguhnya tidak sulit untuk menghindari makanan
seperti daging babi, karena pada kebudayaan Tionghoa juga ada persepsi tentang
makanan tertentu yang tidak diperbolehkan untuk dikonsumsi. Hal yang membedakan
adalah obyek atau barang (jenis makanan) yang tidak diperbolehkan. Dengan
adanya persepsi yang sama, sangat memudahkan bagi muallaf untuk memahami
mengapa hal itu dilarang. Menurut THg, ada sebagian peranakan etnis Tionghoa non
muslim yang tidak mengkonsumsi daging sama sekali.
Tidak semua orang Tionghoa memakan daging babi, malah ada yang tidak mau memakan semua yang dalam tubuhnya mengalir darah atau yang bernyawa seperti daging sapi, kerbau, kambing, ayam, bebek, ikan dan lain-lain, bahkan telor ayam pun ada yang tidak mau makan. Mereka bilang kasihan, tidak memakan binatang bernyawa itu akan lebih dekat dengan Tuhan. Kasihan sekali mereka itu, tidak makan daging sedikitpun, jadi bagi saya tidak memakan daging babi atau anjing itu lebih mudah daripada mereka yang tidak makan daging sama sekali.[5]
THg membandingkan
dengan peranakan etnis Tionghoa yang masih beragama lain dan memiliki
kepercayaan bahwa tidak memakan binatang bernyawa itu akan lebih dekat dengan
Tuhannya. Sehingga bagi THg tidak memakan daging babi atau anjing itu bukan hal
sulit, karena masih banyak daging yang bisa dimakan. Harumnya masakan daging
babi pada saudara-saudaranya saat hari raya di keluarga besarnya, juga harus
ditahannya meskipun sangat menggoda.
Agama mengajarkan secara terus menerus nilai-nilai dan norma
kepada umat pemeluk agama, sehingga
nilai dan norma itu menjadi panduan hidup yang sering berbeda dengan agama
lainnya. Nilai-nilai akan kepercayaan terhadap Tuhan, akhirat, cara beribadah,
bersikap, berbicara, bahkan berbusana juga bisa berbeda. Akhirnya semua sendi
kehidupan manusia dipengaruhi agamanya seperti dikatakan Henslin:
Pengaruh agama menyebar ke banyak bidang kehidupan kita. Partisipasi dalam acara keagamaan, misalnya, tidak hanya mengajarkan kita kepercayaan mengenai akhirat tetapi juga ide mengenai jenis busana, cara berbicara, dan tata krama yang tepat untuk acara resmi.[6]
Pernyataan Henslin sangat jelas bahwa perbedaan agama juga
memberi pengaruh kepada pemeluknya untuk memilih model dan jenis busana yang
berbeda, cara berbicara, sikap dan perilaku kepada orang lain.
Dalam hal berbusana, muallaf peranakan etnis Tionghoa di
Aceh Barat juga mulai menyesuaikan diri dengan norma-norma busana Islam. Jika
semula biasa memakai pakaian yang ketat (seksi) dan tidak perlu berjilbab, kini
harus berpakaian yang sopan dan harus mengikuti aturan syariat Islam. Akan
tetapi kebiasaan (habit) yang sudah merasuk
dalam jiwa, ketika harus berubah yang seharusnya mudah bagi umat Islam,
kenyataannya juga sangat sulit bagi muallaf. Cara berpakaian dengan model
busana tertentu, secara tidak langsung juga merupakan identitas tersendiri bagi
pemakainya. Di negeri ini khususnya di Aceh, orang yang berjilbab, berbaju gamis,
baju koko, kopiah/peci dan bertasbih, pemakainya identik dengan orang Islam,
sehingga dalam kondisi atau suasana tertentu seperti silaturahmi, hari-hari
besar Islam, shalat dan lain sebagainya, akan sangat baik jika digunakan.
Bagi muallaf peranakan etnis Tionghoa di Aceh Barat, awalnya
dikenal sebagai orang non muslim oleh masyarakat Aceh, perlu menggunakan busana
simbol Islam tersebut sebagai identitas baru, seperti dikatakan KEW:
Yang paling penting adalah menunjukkan identitas kita. Saya katakan kepada orang-orang Tionghoa, bahwa kita perlu identitas. Kalian masuk Islam tetapi orang Aceh tidak tahu bahwa kalian orang Islam, maka kalian perlu memakai peci, jilbab, baju gamis, baju koko dan lainnya sebagai identitas Islam kalian.[7]
Aw mengatakan hal ini karena beberapa muallaf peranakan etnis
Tionghoa di Aceh Barat belum bisa menggunakan busana sebagai identitas Islam,
sehingga orang Aceh tidak bisa mengenalinya sebagai seorang muslim. Muallaf
peranakan etnis Tionghoa belum bisa memakai busana yang menjadi simbol agama
Islam seperti gamis, koko, peci dan jilbab salah satunya IMi. Menggunakan
pakaian yang menjadi simbol-simbol Islam akan turut menentukan persepsi
masyarakat lingkungan terhadap pemakai simbol.
Belum bisa menggunakan simbol-simbol Islam, membuat orang
Aceh akan tetap mempersepsikan muallaf peranakan etnis Tionghoa sebagai non
muslim. Dengan dipersepsikan sebagai peranakan etnis Tionghoa non muslim, maka
akan berakibat pada interaksi yang kurang hangat dengan orang Aceh dalam
kehidupan sehari-hari. Interaksi yang kurang baik dengan lingkungan akan
berdampak pada kualitas bertahan hidup yang kurang baik juga. Kecenderungan
yang terjadi adalah interaksi berbentuk disosiatif (sering disebut oposisi).
Menurut Gillin dan Gillin dalam Soekanto proses disosiatif ini berwujud
persaingan, dan pertentangan atau pertikaian.[8]
Artinya interaksi yang kurang baik akan lebih
mudah mudah menimbulkan konflik dan tindak kekerasan dalam masyarakat, kondisi
seperti itu akan menimbulkan kerugian yang besar bagi masyarakat khususnya kaum
minoritas. Akhirnya tujuan muallaf peranakan etnis Tionghoa dalam beradaptasi
agar mampu bertahan hidup di lingkungan masyarakat Aceh dan etnis Tionghoa
lainnya tidak dapat tercapai.
Masyarakat Aceh yang mempersepsikan peranakan etnis Tionghoa
sebagai non muslim sangat wajar, karena peranakan etnis Tionghoa yang ada di
Indonesia mayoritas adalah non muslim. Kajian-kajian sebelumnya menunjukkan
bahwa pada umumnya masyarakat peranakan etnis Tionghoa beragama Kong Hu Cu. Hal
ini sama dengan yang dikatakan Dhea, “mayoritas orang Tionghoa menganut Kong Hu
Cu”.[9] Ajaran kong Hu Cu bukan hanya banyak dianut di
Pontianak saja, tetapi juga banyak di Banda Aceh. A. Rani Usman mengatakan:
Kong Hu Cu atau Konfusianisme merupakan salah satu ajaran yang dianut oleh etnis Cina di Indonesia. Ajaran Kong Hu Cu dibawakan oleh Kong Hu Cu. Kong Hu Cu merupakan ajaran yang lahir dan berkembang di Tiongkok. Sampai saat ini etnis Cina perantauan masih banyak yang mengikuti ajaran Kong Hu Cu. Etnis Cina di Banda Aceh pun banyak yang mengikuti agama Kong Hu Cu.[10]
Kesadaran akan perbedaan keyakinan ini, maka setiap orang
dari peranakan etnis Tionghoa memerlukan adaptasi dengan masyarakat Aceh, yang
mayoritas muslim agar dapat bertahan hidup. Peranakan etnis Tionghoa yang hidup
dalam lingkungan sendiri (sesama etnis Tionghoa dan sesama keyakinan) lebih
mudah dalam beradaptasi, karena nilai-nilai, norma, aturan dan adat istiadatnya
cenderung sama, tetapi peranakan etnis Tionghoa yang telah menjadi muallaf terpaksa
harus beradaptasi lagi dengan masyarakat Aceh yang sudah mengetahui bahwa
peranakan etnis Tionghoa biasanya beragama Budha, dan Kong Hu Cu.
Adaptasi muallaf peranakan etnis Tionghoa dengan Aceh yang
mayoritas muslim akan lebih sulit, karena muallaf harus kembali mempelajari
nilai-nilai, norma, sikap dan perilaku baru. Proses beradaptasi kembali ini
menurut Henslin disebut sebagai resosialisasi.[11]
Muallaf peranakan etnis Tionghoa harus memahami nilai-nilai dan norma-norma
dalam masyarakat Aceh sebagai modal berinteraksi dan adaptasi. Namun di sisi
yang lain, muallaf peranakan etnis Tionghoa juga harus resosialisasi dengan
sesamanya, karena nilai-nilai, norma, adat dan perilaku sudah berkiblat dengan
agama yang baru (Islam). IMi dan muallaf lainnya yang menahan diri untuk tidak
memakan masakan daging babi yang harum menggoda selera adalah merupakan bentuk
usaha adaptasi dengan nilai-nilai dan norma agama Islam sebagai agamanya yang
baru. Upaya menyesuaikan diri dengan nilai-nilai baru bukan hanya dalam hal
memakan sebuah masakan saja, tetapi juga mengenai busana. Ay juga berusaha
merubah busana yang dipergunakan sehari-hari, agar terlihat lebih islami. Jika
sebelumnya tidak menggunakan jilbab dalam kehidupan sehari-hari, sekarang harus
berusaha menggunakan jilbab meskipun terbatas hanya ketika keluar rumah saja.
Persepsi mengenai perbedaan nilai-nilai dan norma-norma
dalam setiap agama pada saat tertentu tidak menghalangi adaptasi dan interaksi
antar warga masyarakat penganut agama, karena perbedaan itu pernah terjadi pada
bangsa Indonesia sebelumnya. Masyarakat Indonesia yang multikultur, harus dapat
hidup berdampingan saling memperkuat antara satu dengan yang lainnya. Menurut
Lawrence Blum yang dikutip Andre Ata Ujan mengatakan, “Multikulturisme meliputi pemahaman,
penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, serta sebuah penghormatan dan
keingintahuan tentang budaya etnis lain”.[12]
Multikulturalisme seperti itu pernah ditunjukkan masyarakat Indonesia yang menghasilkan
toleransi yang tinggi antar penganut Hindu dan Budha pada jaman Majapahit,
sehingga melahirkan semboyan “Rwaneka
dhatu winuwus Buddha Wiswa, Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng
Jinatwa kalawan siwatatwa tunggal, Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa”.[13]
Semboyan ini memiliki arti bahwa agama Budha dan Siwa (Hindu) merupakan zat
yang berbeda, tetapi nilai-nilai kebenaran Jina (Budha) dan Siwa adalah
tunggal. Terpecah belah, tetapi satu jua, tidak ada dharma yang mendua. Kelak, menjadi
semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dikenal dengan Bhinneka
Tunggal Ika, yang diterjemahkan sebagai berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Semboyan ini dipraktikkan dalam kehidupan rakyat Majapahit,
sehingga saling toleran dan berinteraksi
dengan baik walaupun agamanya berbeda. Toleransi
tinggi juga diberikan kedua agama tersebut kepada Islam, sebagai buktinya raja
Majapahit yang rakyatnya Hindu dan Budha memberikan kebebasan kepada para pendakwah
Islam di wilayah kerajaan.[14]
Toleransi antar agama bukan hanya ditunjukkan oleh masyarakat yang sudah
beragama Hindu atau Budha saja, jauh sebelum agama Hindu dan Budha hadir di
Indonesia, toleransi sudah ditunjukkan oleh masyarakat penganut kepercayaan asli
Indonesia yakni animisme[15]
dan dinamisme. Dengan toleransi yang diberikan kepercayaan asli ini membuat
agama-gama baru yang datang ke Indonesia mampu beradaptasi dengan baik. Hasil
adaptasi itu bahkan dapat dirasakan, di mana pengaruh animisme[16]
juga masih terasa pada masyarakat yang telah memeluk agama Islam di Lhokseumawe
dan Kabupaten Aceh Utara.[17]
Hasan memberikan contoh mengenai berkumpulnya orang-orang pada malam ke-3
(tiga), 5 (lima), 7 (tujuh), 10 (sepuluh), 30 (tiga puluh), 44 (empat puluh
empat) dan hingga 100 (seratus) hari dan malam-malam lainnya, dapat
menghindarkan diri dari gangguan roh orang yang telah mati. Kepercayaan lainnya
adalah adanya roh jahat penunggu tempat tertentu. Kehadiran Islam bukan
menghapuskan kepercayaan ini tetapi justru memperkuat keyakinan tersebut.
Memperkuat kepercayaan ini menurut Hasan melalui “Sistem dan konsep keramat
dalam ajaran Islam yang disalah artikan oleh sebagian daripada umat muslim
hingga kini”.[18]
Toleransi tinggi sebagai pintu proses adaptasi bukan hanya
diberikan agama Hindu dan Budha kepada Islam saja, sebaliknya Islam juga
memberikan toleransi yang tinggi dengan kedua agama tersebut. Keberadaan Candi
Prambanan di Klaten, dan Borobudur di Magelang Provinsi Jawa Tengah merupakan
bukti kuat toleransi yang diberikan pemeluk agama Islam. Masih eksisnya kedua
candi tersebut sampai saat ini adalah karena turut andilnya umat Islam menjalin
interaksi yang baik dengan umat agama lain, padahal masyarakat di sekitar candi
telah memeluk agama Islam. Artinya, kedua candi tidak dihancurkan oleh
masyarakat sekitar yang sudah Islam, dan sampai saat ini candi-candi itu juga masih
diperbolehkan sebagai tempat ibadah bagi pemeluk agama masing-masing, bahkan menurut
Djoko Widagdho “borobudur sebagai tempat pemujaan agama Budha yang tidak ada
duanya di dunia pada jamannya”.[19]
Toleransi itu bukan hanya terjadi pada masyarakat sekitar
candi Hindu dan Budha saja, tetapi juga di Aceh yang telah menerapkan syariat
islam. Orang-orang non muslim dari etnis lainnya dan etnis Tionghoa, tidak
diusir dari Aceh khususnya di Aceh Barat, karena syariat yang diberlakukan untuk
mengendalikan perilaku, khususnya umat Islam. KEW mengatakan:
Orang non muslim kan juga dijamin oleh pemerintah. Mereka boleh tidak berjilbab bagi yang perempuan. Yang terpenting sebetulnya kan bukan jilbabnya tetapi perilakunya. Syariat diberlakukan agar semua warga berperilaku baik, berjilbab kan kebetulan yang muslimah.[20]
Fakta ini menunjukkan adanya kehidupan yang toleran dan
saling menghargai dan menghormati antar agama di Aceh Barat. Bagi muallaf
peranakan etnis Tionghoa di Aceh Barat, keputusannya menjadi muallaf
mengharuskan untuk beradaptasi atau resosialisasi dengan masyarakat Aceh yang
pernah mengganggapnya sebagai non muslim. Adaptasi juga dilakukan dengan sesama
peranakan etnis Tionghoa yang sudah tidak seiman lagi, bahkan dengan keluarga
besar yang mengusirnya dari keluarga.
Kehidupan masyarakat Indonesia yang toleran antar umat
beragama itu ternyata kurang ditunjukkan masyarakat Indonesia terhadap
peranakan etnis Tionghoa. Status sebagai peranakan etnis Tionghoa yang melekat
sering menjadi permasalahan tersendiri, yang harus dihadapi dan diselesaikan
dalam adaptasi. Minimnya toleransi dalam interaksi antar kedua etnis tersebut sering
menjadi penyebab atas terjadinya kegagalan adaptasi. Minimnya toleransi bukan hanya
karena agama yang dianut berbeda, tetapi juga faktor lain yang mempengaruhi buruknya
kualitas interaksi. Sebenarnya Islam tidak melarang umatnya untuk berbuat
baik kepada orang non muslim, bahkan umat Islam dianjurkan untuk bersikap dan
menilai orang dengan keadaan yang sebenarnya tanpa dipengaruhi pendapat atau
pandangan pribadi dalam berinteraksi dengan orang kafir yang melakukan
perjanjian dengan Islam. Hasan Al Banna mengatakan:
Islam juga memerintahkan berlaku obyektif dan berinteraksi dengan baik terhadap orang kafir yang mengikat perjanjian dengan umat Islam (dzimmi). Prinsip kita dalam berinteraksi adalah, mereka mendapat seperti apa yang kita dapat dan bertanggung jawab sebagaimana kita.[21]
Persepsi
negatif masyarakat Aceh terhadap peranakan etnis Tionghoa dan persepsi
superioritas, atau memandang diri dan kelompoknya sebagai kelas atas yang tidak
perlu bergaul dengan masyarakat biasa di kalangan peranakan etnis Tionghoa,
adalah faktor yang harus dihilangkan. Peranakan etnis Tionghoa masih ada
persepsi bahwa masyarakat Aceh adalah orang yang jahat, miskin, dan kotor
adalah juga tidak benar. Persepsi ini seperti diungkapkan IMi:
Orang Cina kan bergaul pilih-pilih, harus yang kaya, yang dari orang Cina. Mereka berpikir orang Aceh itu, jahat, miskin, dan kotor, mereka juga takut anaknya membandel dan dianggap durhaka.[22]
Suhandinata
juga menyebutkan mengenai pandangan peranakan etnis Tionghoa terhadap masyarakat
Indonesia, “secara umum tidak dianggap sebagai pekerja keras, hemat dan cermat,
dapat diandalkan dan punya kemampuan”.[23] Dari
sisi yang berbeda, mengenai persepsi-persepsi itu Aw mengatakan:
Biasanya orang Aceh memandang orang Tionghoa itu kaya-kaya
semua, padahal sesungguhnya tidak semuanya kaya, mereka ada juga yang hidupnya
sulit. Saya dulu juga hidup sulit, bahkan sempat menjadi tukang parkir. Orang Tionghoa
sendiri akan lebih dekat dengan orang Aceh yang dikenalinya. Kalau tidak kenal
ya biasa-biasa saja, mereka akan hati-hati juga, begitu juga orang Aceh
terhadap orang Tionghoa.[24]
Pernyataan
Aw lebih mengedepankan bahwa ketika seseorang tidak mengenali orang lainnya,
maka kecenderungan orang lain itu akan lebih protektif kepada orang yang tidak
dikenalinya. Jika persepsi-persepsi salah terus dikembangkan, maka proses adaptasi
antara masyarakat Aceh dan muallaf peranakan etnis Tionghoa tidak akan tercapai.
Untuk itu kesadaran bahwa antara orang Aceh dengan peranakan etnis Tionghoa
terdapat perbedaan nilai-nilai, norma, adat istiadat dalam kebudayaannya,
penting dikembangkan dan selanjutnya disikapi dengan saling memahami,
menghargai dan menghormati.
[1] Wawancara dengan HRi wakil ketua
I MPU Aceh Barat tanggal 10 November.
[2] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi…, hal. 150.
[3] Deddy Mulyana & Jalaluddin
Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya: Panduan
Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, (Bandung: Remaja Rosda
Karya, 2009), hal. 58.
[4] Wawancara dengan IMi tanggal 03
April 2014.
[5] Wawancara dengan THg tanggal 30
Maret 2014.
[6]James M. Henslin, Sosiologi dengan Pendekatan Membumi, terj.
Kamanto Sunarto, (Jakarta: Erlangga, 2007),
hal. 78.
[7] Wawancara dengan KEW tanggal 07 Februari
2014.
[8] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar…, hal. 65.
[9]Dhea Putri Herdiningrum, Adaptasi Kelompok Muallaf Tionghoa di
Kecamatan Pontianak Kota (http://jurnalmahasiswa.fisip.untan.ac.id) (diakses tanggal 20 februari
2014).
[10] A. Rani Usman. Etnis Cina Perantauan…., hal. 81.
[11] James M. Henslin, Sosiologi dengan Pendekatan …., hal. 79. Henslin juga memberikan contoh kasus
tentang persamaan seorang perempuan yang baru saja menjadi biarawati dan
seorang laki-laki yang baru bercerai, yakni keduanya sama-sama harus menjalani
resosialisasi (resocialization); artinya, mereka harus mempelajari norma, nilai-nilai,
sikap dan perilaku baru agar sepadan dengan situasi baru yang dihadapi kedua
orang tersebut dalam kehidupan. Dalam bentuknya yang paling lazim,
resosialisasi terjadi tiap kali kita mempelajari sesuatu yang bertentangan
dengan kondisi awal kita.
[12] Andre Ata Ujan et all., Multikulturalisme: Belajar Hidup Bersama
dalam Perbedaan, (Jakarta: Indeks,
2009), hal. 14.
[13]Pimpinan MPR dan Tim Kerja
Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, Empat
Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, (Jakarta: Sekretariat Jendral MPR
RI, 2012), hal. 181.
[14] Thomas W. Arnold, Sejarah Dakwah Islam…, hal. 332. Raden Rahmat adalah seorang penyiar
agama Islam yang masih memiliki hubungan keluarga besar dengan Raja Majapahit.
Arnold mengisahkan perjalanan dakwahnya ke Majapahit sebagai berikut: “Ketika
dia berusia 20 tahun, dia dikirim ayahnya ke pamannya, Raja Majapahit. Di dalam
perjalanan, dia mampir dua bulan di Palembang, menjadi tamu Aria Damar, yang
hampir saja dapat di islamkannya, hanya sayang Aria Damar tidak, berani
menyatakan Islamnya dihadapan umum karena khawatir akan tindakan rakyatnya yang
sangat terikat kepada kepercayaan lama. Raden Rahmat melanjutkan perjalanannya
ke Gresik, di mana seorang muballigh Arab, Syeikh Maulana Jurnadal Kubra, mengelu-elukannya
sebagai pelopor Islam di Jawa yang telah lama dinanti-nantikan, dan meramalkan
bahwa berakhirnya kepercayaan berhala sudah di ambang pintu, dan bahwa usaha dakwahnya
akin beroleh hasil gemilang. Di Majapahit dia disambut. dengan baik oleh Raja
dan permaisuri dari Champa. Meskipun Raja menolak untuk masuk Islam, namun dia
sangat menghargai usaha Raden Rahmat, malah mengangkatnya menjadi Gubernur di Ampel, sebelah
timur Gresik, dan memberikan kepadanya kebebasan penuh untuk menyebarkan agama
Islam. Dalam beberapa tahun Raden
Rahmat berhasil mengislamkan hampir seluruh penduduk Ampel, yang waktu
itu berjumlah kurang lebih 3000 kepala keluarga. Jadilah Ampel sebagai pusat
Islam dan kemashyuran nama Raden Rahmat tersiar ke mana-mana karena sukses dan
aktifitasnya menyiarkan agama”.
[15] Amsal Bakhtiar,
Filsafat Agama…, hal. 61-62. Animisme berasal dari bahasa Latin, anima yang
berarti jiwa atau roh. Bagi masyarakat primitif, semua alam dipenuhi oleh roh-roh yang tidak terhingga banyaknya, tidak, saja manusia
atau
binatang, tetapi benda-benda yang tidak hidup juga memiliki roh, seperti tulang
atau batu. Jadi, animisme adalah paham tentang semua benda, baik bernyawa dan
tidak bernyawa mempunyai jiwa/roh.
[16] Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2010),
hal. 63. Kajian antropologi mengenai
animisme di Indonesia pernah dilakukan A.C. Kruyt (1869-1949) seorang pendeta
Belanda yang bekerja sebagai penyiar agama Nasrani di Toraja Sulawesi Tengah.
Kajian Kruyt tersebut dikutip Koentjaraningrat yang mengatakan bahwa pada
masyarakat primitif atau manusia zaman
kuno yang percaya akan adanya zat halus yang mampu memberi kekuatan hidup dan
gerak kepada banyak hal di dalam alam semesta ini. Zat halus ini oleh Kruyt disebut
sebagai zielestof yang berada dalam
beberapa bagian tubuh manusia, binatang, tumbuhan dan benda-benda. Keyakinan
terhadap zielestof ini oleh Kruyt
disebut sebagai animisme.
[17] Ridwan Hasan, Perspektif Sejarah: Berkembangnya Islam dan
Sistem Perubahan Sosial dan Budaya Masyarakat Aceh, Proceedings of the ADIC
2012, Volume II. hal.714. Kepercayaan
bercorak animisme yang mempunyai kewujudan seperti makhluk halus terus
ditanamkan oleh masyarakat khususnya di dalam wilayah Kabupaten Aceh Utara dan
Kota Lhokseumawe, walaupun telah menganut ajaran agama Islam.
[18] Ridwan Hasan, Perspektif Sejarah…, hal. 709.
[19] Djoko Widagdho, Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hal. 53.
[20] Wawancara dengan KEW tanggal 07 Februari
2014.
[21] Hasan Al Banna, Kumpulan Risalah Dakwah Hasan Al Banna.
Terj. Khozin Abu Faqih, (Jakarta: Al I’tishom Cahaya Umat, 2006), hal. 93.
[22] Wawancara dengan IMi tanggal 03
April 2014.
[23] Justian Suhandinata, WNI Keturunan Tionghoa dalam Stabilitas
Ekonomi & Politik Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), hal.
17.
[24] Wawancara dengan KEW tanggal 07 Februari 2014.