Senin, 07 Juni 2021

Contoh Penerapan Tahap Persepsi Pada Teori Interaksi Simbolik

 

  Perception (Persepsi) Pada Interaksi Simbolik

Tahap kedua setelah  impuls atau stimuli adalah persepsi, di mana muallaf peranakan etnis Tionghoa memiliki persepsi-persepsi tertentu terhadap stimuli yang ada. Persepsi yang tepat akan menghasilkan tindakan yang tepat pula, sehingga adaptasi dengan lingkungan akan dapat tercapai dengan baik. Impuls bahwa seorang manusia memerlukan orang yang lainnya juga dipersepsikan bahwa orang-orang yang diperlukan di sekitarnya ternyata memiliki perbedaan dengan dirinya. Perbedaan yang paling jelas adalah perbedaan mengenai etnis sehingga nilai-nilai dasar, norma-norma, adat-istiadat, bahasa, agama dan lain-lainnya juga berbeda. Pada masyarakat Aceh, perbedaan agama menjadi sangat sensitif, artinya ketika orang-orang di lingkungannya non muslim, maka orang Aceh kecenderungannya waspada terhadap aktivitas tetangga tersebut. Bahkan ketika seorang anak dari etnis Aceh menjadi murtad, maka yang terjadi mirip dengan peranakan etnis Tionghoa ketika menjadi muallaf, yaitu dibuang. Hri mengatakan, “orang Aceh juga bertindak seperti orang Tionghoa kalau anaknya berpindah agama,  bahkan juga orang Islam di sekitarnya ”.[1]

Peranakan etnis Tionghoa, pada dasarnya memiliki kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan masyarakat Aceh pada umumnya. Menyadari adanya perbedaan kebudayaan tersebut, maka muallaf peranakan etnis Tionghoa  yang telah terusir dari keluarga berusaha untuk menyesuaikan dengan masyarakat Aceh yang hidup di sekitarnya. Perbedaan dalam kebudayaan sering meliputi pada seluruh wujudnya sebagai gejala kebudayaan, tetapi dalam hal tertentu ada satu, dua atau bahkan tiga wujud sebagai gejala budaya tersebut bisa jadi sama antara budaya yang satu dengan yang lain. Tiga gejala budaya yang dimaksud adalah; ideas, activities dan artifacts.[2]  Dalam gejala kebudayaan tadi, terkandung unsur-unsur kebudayaan yang disebut Koentjaraningrat salah satunya adalah sistem religi, atau keyakinan (agama). Keyakinan yang berbeda, akan melahirkan gejala aktivitas kebudayaan yang berbeda. Salah satu perbedaan pada gejala pertama sebagai kompleks ideas adalah  aturan-aturan atau norma-norma yang berbeda. Seorang muslim dan Yahudi dilarang (haram) mengkonsumsi daging babi, sementara itu orang-orang Kong Hu Cu atau agama lainnya diperbolehkan. Seorang pemeluk Hindu dilarang mengkonsumsi daging sapi, sementara pada agama lain tidak dilarang.[3] Perbedaan-perbedaan itu bukan hanya dalam hal makanan apa yang diperbolehkan dan dilarang, tetapi juga tatacara beribadah, tempat ibadah, cara berpakaian,  dan lain sebagainya.

Mengenai konsumsi makanan tertentu, peranakan etnis Tionghoa di Aceh Barat semula tidak haram ketika mengkonsumsi daging babi, setelah menjadi muallaf harus menyesuaikan dirinya untuk tidak mengkonsumsi daging babi, meskipun dengan tantangan yang berat. Tantangannya ketika melihat dan mencium harumnya masakan daging itu, namun secara tegas harus ditinggalkan seperti dikatakan IMi:

Saya mencium masakan yang ada disitu, baunya harum sekali dan menggoda untuk dimakan. Mereka tanya “kamu muslim atau bukan? kalau muslim jangan cokeh (sentuh), kalau bukan Islam, makan saja”. Ternyata dugaan saya benar, bahwa bau harum itu adalah masakan daging babi.[4]

Masakan yang harum baunya sangat menggoda selera IMi, keinginan untuk mencicipi muncul seketika. Namun IMi menyadari bahwa saat itu sedang berada di rumah adik ayahnya yang masih beragama lain, sehingga IMi harus mampu menahan diri agar tidak memakan makanan yang diharamkan dalam agama Islam yang telah dianutnya. Hal terpenting adalah bahwa IMi telah memiliki persepsi bahwa ada makanan-makanan tertentu yang tidak boleh dimakan sesuai dengan aturan agama yang baru. Persepsi seperti ini sebenarnya bagi sebagian peranakan etnis Tionghoa, sesungguhnya tidak sulit untuk menghindari makanan seperti daging babi, karena pada kebudayaan Tionghoa juga ada persepsi tentang makanan tertentu yang tidak diperbolehkan untuk dikonsumsi. Hal yang membedakan adalah obyek atau barang (jenis makanan) yang tidak diperbolehkan. Dengan adanya persepsi yang sama, sangat memudahkan bagi muallaf untuk memahami mengapa hal itu dilarang. Menurut THg, ada sebagian peranakan etnis Tionghoa non muslim yang tidak mengkonsumsi daging sama sekali.

Tidak semua orang Tionghoa memakan daging babi, malah ada yang tidak mau memakan semua yang dalam tubuhnya mengalir darah atau yang bernyawa seperti daging sapi, kerbau, kambing, ayam, bebek, ikan dan lain-lain, bahkan telor ayam pun ada yang tidak mau makan. Mereka bilang kasihan, tidak memakan binatang bernyawa itu akan lebih dekat dengan Tuhan. Kasihan sekali mereka itu, tidak makan daging sedikitpun, jadi bagi saya tidak memakan daging babi atau anjing itu lebih mudah daripada mereka yang tidak makan daging sama sekali.[5]

 THg membandingkan dengan peranakan etnis Tionghoa yang masih beragama lain dan memiliki kepercayaan bahwa tidak memakan binatang bernyawa itu akan lebih dekat dengan Tuhannya. Sehingga bagi THg tidak memakan daging babi atau anjing itu bukan hal sulit, karena masih banyak daging yang bisa dimakan. Harumnya masakan daging babi pada saudara-saudaranya saat hari raya di keluarga besarnya, juga harus ditahannya meskipun sangat menggoda.

Agama mengajarkan secara terus menerus nilai-nilai dan norma kepada  umat pemeluk agama, sehingga nilai dan norma itu menjadi panduan hidup yang sering berbeda dengan agama lainnya. Nilai-nilai akan kepercayaan terhadap Tuhan, akhirat, cara beribadah, bersikap, berbicara, bahkan berbusana juga bisa berbeda. Akhirnya semua sendi kehidupan manusia dipengaruhi agamanya seperti dikatakan Henslin:

Pengaruh agama menyebar ke banyak bidang kehidupan kita. Partisipasi dalam acara keagamaan, misalnya, tidak hanya mengajarkan kita kepercayaan mengenai akhirat tetapi juga ide mengenai jenis busana, cara berbicara, dan tata krama yang tepat untuk acara resmi.[6]

Pernyataan Henslin sangat jelas bahwa perbedaan agama juga memberi pengaruh kepada pemeluknya untuk memilih model dan jenis busana yang berbeda, cara berbicara, sikap dan perilaku kepada orang lain.

Dalam hal berbusana, muallaf peranakan etnis Tionghoa di Aceh Barat juga mulai menyesuaikan diri dengan norma-norma busana Islam. Jika semula biasa memakai pakaian yang ketat (seksi) dan tidak perlu berjilbab, kini harus berpakaian yang sopan dan harus mengikuti aturan syariat Islam. Akan tetapi kebiasaan (habit) yang sudah merasuk dalam jiwa, ketika harus berubah yang seharusnya mudah bagi umat Islam, kenyataannya juga sangat sulit bagi muallaf. Cara berpakaian dengan model busana tertentu, secara tidak langsung juga merupakan identitas tersendiri bagi pemakainya. Di negeri ini khususnya di Aceh, orang yang berjilbab, berbaju gamis, baju koko, kopiah/peci dan bertasbih, pemakainya identik dengan orang Islam, sehingga dalam kondisi atau suasana tertentu seperti silaturahmi, hari-hari besar Islam, shalat dan lain sebagainya, akan sangat baik jika digunakan.

Bagi muallaf peranakan etnis Tionghoa di Aceh Barat, awalnya dikenal sebagai orang non muslim oleh masyarakat Aceh, perlu menggunakan busana simbol Islam tersebut sebagai identitas baru, seperti dikatakan KEW:

Yang paling penting adalah menunjukkan identitas kita. Saya katakan kepada orang-orang Tionghoa, bahwa kita perlu identitas. Kalian masuk Islam tetapi orang Aceh tidak tahu bahwa kalian orang Islam, maka kalian perlu memakai peci, jilbab, baju gamis, baju koko dan lainnya  sebagai identitas Islam kalian.[7]

Aw mengatakan hal ini karena beberapa muallaf peranakan etnis Tionghoa di Aceh Barat belum bisa menggunakan busana sebagai identitas Islam, sehingga orang Aceh tidak bisa mengenalinya sebagai seorang muslim. Muallaf peranakan etnis Tionghoa belum bisa memakai busana yang menjadi simbol agama Islam seperti gamis, koko, peci dan jilbab salah satunya IMi. Menggunakan pakaian yang menjadi simbol-simbol Islam akan turut menentukan persepsi masyarakat lingkungan terhadap pemakai simbol.

Belum bisa menggunakan simbol-simbol Islam, membuat orang Aceh akan tetap mempersepsikan muallaf peranakan etnis Tionghoa sebagai non muslim. Dengan dipersepsikan sebagai peranakan etnis Tionghoa non muslim, maka akan berakibat pada interaksi yang kurang hangat dengan orang Aceh dalam kehidupan sehari-hari. Interaksi yang kurang baik dengan lingkungan akan berdampak pada kualitas bertahan hidup yang kurang baik juga. Kecenderungan yang terjadi adalah interaksi berbentuk disosiatif (sering disebut oposisi). Menurut Gillin dan Gillin dalam Soekanto proses disosiatif ini berwujud persaingan, dan pertentangan atau pertikaian.[8] Artinya  interaksi yang kurang baik akan lebih mudah mudah menimbulkan konflik dan tindak kekerasan dalam masyarakat, kondisi seperti itu akan menimbulkan kerugian yang besar bagi masyarakat khususnya kaum minoritas. Akhirnya tujuan muallaf peranakan etnis Tionghoa dalam beradaptasi agar mampu bertahan hidup di lingkungan masyarakat Aceh dan etnis Tionghoa lainnya tidak dapat tercapai.  

Masyarakat Aceh yang mempersepsikan peranakan etnis Tionghoa sebagai non muslim sangat wajar, karena peranakan etnis Tionghoa yang ada di Indonesia mayoritas adalah non muslim. Kajian-kajian sebelumnya menunjukkan bahwa pada umumnya masyarakat peranakan etnis Tionghoa beragama Kong Hu Cu. Hal ini sama dengan yang dikatakan Dhea, “mayoritas orang Tionghoa menganut Kong Hu Cu”.[9]  Ajaran kong Hu Cu bukan hanya banyak dianut di Pontianak saja, tetapi juga banyak di Banda Aceh.  A. Rani Usman mengatakan:

Kong Hu Cu atau Konfusianisme merupakan salah satu ajaran yang dianut oleh etnis Cina di Indonesia. Ajaran Kong Hu Cu dibawakan oleh Kong Hu Cu. Kong Hu Cu merupakan ajaran yang lahir dan berkembang di Tiongkok. Sampai saat ini etnis Cina perantauan masih banyak yang mengikuti ajaran Kong Hu Cu. Etnis Cina di Banda Aceh pun banyak yang mengikuti agama Kong Hu Cu.[10]  

Kesadaran akan perbedaan keyakinan ini, maka setiap orang dari peranakan etnis Tionghoa memerlukan adaptasi dengan masyarakat Aceh, yang mayoritas muslim agar dapat bertahan hidup. Peranakan etnis Tionghoa yang hidup dalam lingkungan sendiri (sesama etnis Tionghoa dan sesama keyakinan) lebih mudah dalam beradaptasi, karena nilai-nilai, norma, aturan dan adat istiadatnya cenderung sama, tetapi peranakan etnis Tionghoa yang telah menjadi muallaf terpaksa harus beradaptasi lagi dengan masyarakat Aceh yang sudah mengetahui bahwa peranakan etnis Tionghoa biasanya beragama Budha, dan Kong Hu Cu.

Adaptasi muallaf peranakan etnis Tionghoa dengan Aceh yang mayoritas muslim akan lebih sulit, karena muallaf harus kembali mempelajari nilai-nilai, norma, sikap dan perilaku baru. Proses beradaptasi kembali ini menurut Henslin disebut sebagai resosialisasi.[11] Muallaf peranakan etnis Tionghoa harus memahami nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat Aceh sebagai modal berinteraksi dan adaptasi. Namun di sisi yang lain, muallaf peranakan etnis Tionghoa juga harus resosialisasi dengan sesamanya, karena nilai-nilai, norma, adat dan perilaku sudah berkiblat dengan agama yang baru (Islam). IMi dan muallaf lainnya yang menahan diri untuk tidak memakan masakan daging babi yang harum menggoda selera adalah merupakan bentuk usaha adaptasi dengan nilai-nilai dan norma agama Islam sebagai agamanya yang baru. Upaya menyesuaikan diri dengan nilai-nilai baru bukan hanya dalam hal memakan sebuah masakan saja, tetapi juga mengenai busana. Ay juga berusaha merubah busana yang dipergunakan sehari-hari, agar terlihat lebih islami. Jika sebelumnya tidak menggunakan jilbab dalam kehidupan sehari-hari, sekarang harus berusaha menggunakan jilbab meskipun terbatas hanya ketika keluar rumah saja.    

Persepsi mengenai perbedaan nilai-nilai dan norma-norma dalam setiap agama pada saat tertentu tidak menghalangi adaptasi dan interaksi antar warga masyarakat penganut agama, karena perbedaan itu pernah terjadi pada bangsa Indonesia sebelumnya. Masyarakat Indonesia yang multikultur, harus dapat hidup berdampingan saling memperkuat antara satu dengan yang lainnya. Menurut Lawrence Blum yang dikutip Andre Ata Ujan mengatakan,  “Multikulturisme meliputi pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, serta sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis lain”.[12] Multikulturalisme seperti itu pernah ditunjukkan masyarakat Indonesia yang menghasilkan toleransi yang tinggi antar penganut Hindu dan Budha pada jaman Majapahit, sehingga melahirkan semboyan “Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa, Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan siwatatwa tunggal, Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa”.[13] Semboyan ini memiliki arti bahwa agama Budha dan Siwa (Hindu) merupakan zat yang berbeda, tetapi nilai-nilai kebenaran Jina (Budha) dan Siwa adalah tunggal. Terpecah belah, tetapi satu jua, tidak ada dharma yang mendua. Kelak, menjadi semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dikenal dengan Bhinneka Tunggal Ika, yang diterjemahkan sebagai berbeda-beda tetapi tetap satu jua.

Semboyan ini dipraktikkan dalam kehidupan rakyat Majapahit, sehingga  saling toleran dan berinteraksi dengan baik walaupun agamanya berbeda.  Toleransi tinggi juga diberikan kedua agama tersebut kepada Islam, sebagai buktinya raja Majapahit yang rakyatnya Hindu dan Budha memberikan kebebasan kepada para pendakwah Islam di wilayah kerajaan.[14] Toleransi antar agama bukan hanya ditunjukkan oleh masyarakat yang sudah beragama Hindu atau Budha saja, jauh sebelum agama Hindu dan Budha hadir di Indonesia, toleransi sudah ditunjukkan oleh masyarakat penganut kepercayaan asli Indonesia yakni animisme[15] dan dinamisme. Dengan toleransi yang diberikan kepercayaan asli ini membuat agama-gama baru yang datang ke Indonesia mampu beradaptasi dengan baik. Hasil adaptasi itu bahkan dapat dirasakan, di mana pengaruh animisme[16] juga masih terasa pada masyarakat yang telah memeluk agama Islam di Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Utara.[17] Hasan memberikan contoh mengenai berkumpulnya orang-orang pada malam ke-3 (tiga), 5 (lima), 7 (tujuh), 10 (sepuluh), 30 (tiga puluh), 44 (empat puluh empat) dan hingga 100 (seratus) hari dan malam-malam lainnya, dapat menghindarkan diri dari gangguan roh orang yang telah mati. Kepercayaan lainnya adalah adanya roh jahat penunggu tempat tertentu. Kehadiran Islam bukan menghapuskan kepercayaan ini tetapi justru memperkuat keyakinan tersebut. Memperkuat kepercayaan ini menurut Hasan melalui “Sistem dan konsep keramat dalam ajaran Islam yang disalah artikan oleh sebagian daripada umat muslim hingga kini”.[18]    

Toleransi tinggi sebagai pintu proses adaptasi bukan hanya diberikan agama Hindu dan Budha kepada Islam saja, sebaliknya Islam juga memberikan toleransi yang tinggi dengan kedua agama tersebut. Keberadaan Candi Prambanan di Klaten, dan Borobudur di Magelang Provinsi Jawa Tengah merupakan bukti kuat toleransi yang diberikan pemeluk agama Islam. Masih eksisnya kedua candi tersebut sampai saat ini adalah karena turut andilnya umat Islam menjalin interaksi yang baik dengan umat agama lain, padahal masyarakat di sekitar candi telah memeluk agama Islam. Artinya, kedua candi tidak dihancurkan oleh masyarakat sekitar yang sudah Islam, dan sampai saat ini candi-candi itu juga masih diperbolehkan sebagai tempat ibadah bagi pemeluk agama masing-masing, bahkan menurut Djoko Widagdho “borobudur sebagai tempat pemujaan agama Budha yang tidak ada duanya di dunia pada jamannya”.[19]  

Toleransi itu bukan hanya terjadi pada masyarakat sekitar candi Hindu dan Budha saja, tetapi juga di Aceh yang telah menerapkan syariat islam. Orang-orang non muslim dari etnis lainnya dan etnis Tionghoa, tidak diusir dari Aceh khususnya di Aceh Barat, karena syariat yang diberlakukan untuk mengendalikan perilaku, khususnya umat Islam. KEW mengatakan:

Orang non muslim kan juga dijamin oleh pemerintah. Mereka boleh tidak berjilbab bagi yang perempuan. Yang terpenting sebetulnya kan bukan jilbabnya tetapi perilakunya. Syariat diberlakukan agar semua warga berperilaku baik, berjilbab kan kebetulan yang muslimah.[20]

Fakta ini menunjukkan adanya kehidupan yang toleran dan saling menghargai dan menghormati antar agama di Aceh Barat. Bagi muallaf peranakan etnis Tionghoa di Aceh Barat, keputusannya menjadi muallaf mengharuskan untuk beradaptasi atau resosialisasi dengan masyarakat Aceh yang pernah mengganggapnya sebagai non muslim. Adaptasi juga dilakukan dengan sesama peranakan etnis Tionghoa yang sudah tidak seiman lagi, bahkan dengan keluarga besar yang mengusirnya dari keluarga.   

Kehidupan masyarakat Indonesia yang toleran antar umat beragama itu ternyata kurang ditunjukkan masyarakat Indonesia terhadap peranakan etnis Tionghoa. Status sebagai peranakan etnis Tionghoa yang melekat sering menjadi permasalahan tersendiri, yang harus dihadapi dan diselesaikan dalam adaptasi. Minimnya toleransi dalam interaksi antar kedua etnis tersebut sering menjadi penyebab atas terjadinya kegagalan adaptasi. Minimnya toleransi bukan hanya karena agama yang dianut berbeda, tetapi juga faktor lain yang mempengaruhi buruknya kualitas interaksi. Sebenarnya Islam tidak melarang umatnya untuk berbuat baik kepada orang non muslim, bahkan umat Islam dianjurkan untuk bersikap dan menilai orang dengan keadaan yang sebenarnya tanpa dipengaruhi pendapat atau pandangan pribadi dalam berinteraksi dengan orang kafir yang melakukan perjanjian dengan Islam. Hasan Al Banna mengatakan:

Islam juga memerintahkan berlaku obyektif dan berinteraksi dengan baik terhadap orang kafir yang mengikat perjanjian dengan umat Islam (dzimmi). Prinsip kita dalam berinteraksi adalah, mereka menda­pat seperti apa yang kita dapat dan bertanggung jawab sebagaimana kita.[21]

Persepsi negatif masyarakat Aceh terhadap peranakan etnis Tionghoa dan persepsi superioritas, atau memandang diri dan kelompoknya sebagai kelas atas yang tidak perlu bergaul dengan masyarakat biasa di kalangan peranakan etnis Tionghoa, adalah faktor yang harus dihilangkan. Peranakan etnis Tionghoa masih ada persepsi bahwa masyarakat Aceh adalah orang yang jahat, miskin, dan kotor adalah juga tidak benar. Persepsi ini seperti diungkapkan IMi:

Orang Cina kan bergaul pilih-pilih, harus yang kaya, yang dari orang Cina. Mereka berpikir orang Aceh itu, jahat, miskin, dan kotor, mereka juga takut anaknya membandel dan dianggap durhaka.[22]  

Suhandinata juga menyebutkan mengenai pandangan peranakan etnis Tionghoa terhadap masyarakat Indonesia, “secara umum tidak dianggap sebagai pekerja keras, hemat dan cermat, dapat diandalkan dan punya kemampuan”.[23] Dari sisi yang berbeda, mengenai persepsi-persepsi itu Aw mengatakan:

Biasanya orang Aceh memandang orang Tionghoa itu kaya-kaya semua, padahal sesungguhnya tidak semuanya kaya, mereka ada juga yang hidupnya sulit. Saya dulu juga hidup sulit, bahkan sempat menjadi tukang parkir. Orang Tionghoa sendiri akan lebih dekat dengan orang Aceh yang dikenalinya. Kalau tidak kenal ya biasa-biasa saja, mereka akan hati-hati juga, begitu juga orang Aceh terhadap orang Tionghoa.[24]

 

Pernyataan Aw lebih mengedepankan bahwa ketika seseorang tidak mengenali orang lainnya, maka kecenderungan orang lain itu akan lebih protektif kepada orang yang tidak dikenalinya. Jika persepsi-persepsi salah terus dikembangkan, maka proses adaptasi antara masyarakat Aceh dan muallaf peranakan etnis Tionghoa tidak akan tercapai. Untuk itu kesadaran bahwa antara orang Aceh dengan peranakan etnis Tionghoa terdapat perbedaan nilai-nilai, norma, adat istiadat dalam kebudayaannya, penting dikembangkan dan selanjutnya disikapi dengan saling memahami, menghargai dan menghormati.     



[1] Wawancara dengan HRi wakil ketua I MPU Aceh Barat tanggal 10 November.

[2] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi…, hal. 150.

[3] Deddy Mulyana & Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2009), hal. 58.

[4] Wawancara dengan IMi tanggal 03 April 2014. 

[5] Wawancara dengan THg tanggal 30 Maret 2014.  

[6]James M. Henslin, Sosiologi dengan Pendekatan Membumi, terj. Kamanto Sunarto,  (Jakarta: Erlangga, 2007), hal. 78.

[7] Wawancara dengan KEW tanggal 07 Februari 2014.

[8] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar…, hal. 65.

[9]Dhea Putri Herdiningrum, Adaptasi Kelompok Muallaf Tionghoa di Kecamatan Pontianak Kota (http://jurnalmahasiswa.fisip.untan.ac.id) (diakses tanggal 20 februari 2014).

[10] A. Rani Usman. Etnis Cina Perantauan….,  hal. 81.

[11] James M. Henslin, Sosiologi dengan Pendekatan ….,  hal. 79. Henslin juga memberikan contoh kasus tentang persamaan seorang perempuan yang baru saja menjadi biarawati dan seorang laki-laki yang baru bercerai, yakni keduanya sama-sama harus menjalani resosialisasi (resocialization); artinya, mereka harus mempelajari norma, nilai-nilai, sikap dan perilaku baru agar sepadan dengan situasi baru yang dihadapi kedua orang tersebut dalam kehidupan. Dalam bentuknya yang paling lazim, resosialisasi terjadi tiap kali kita mempelajari sesuatu yang bertentangan dengan kondisi awal kita.

[12] Andre Ata Ujan et all., Multikulturalisme: Belajar Hidup Bersama dalam Perbedaan,  (Jakarta: Indeks, 2009), hal. 14.

[13]Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, (Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI, 2012), hal. 181.

[14] Thomas W. Arnold, Sejarah Dakwah Islam…,  hal. 332. Raden Rahmat adalah seorang penyiar agama Islam yang masih memiliki hubungan keluarga besar dengan Raja Majapahit. Arnold mengisahkan perjalanan dakwahnya ke Majapahit sebagai berikut: “Ketika dia berusia 20 tahun, dia dikirim ayahnya ke pamannya, Raja Majapahit. Di dalam perjalanan, dia mampir dua bulan di Palembang, menjadi tamu Aria Damar, yang hampir saja dapat di islamkannya, hanya sayang Aria Damar tidak, berani menyatakan Islamnya dihadapan umum karena khawatir akan tindakan rakyatnya yang sangat terikat kepada kepercayaan lama. Raden Rahmat melanjutkan perjalanannya ke Gresik, di mana seorang muballigh Arab, Syeikh Maulana Jurnadal Kubra, mengelu-elukannya sebagai pelopor Islam di Jawa yang telah lama dinanti-nantikan, dan meramalkan bahwa berakhirnya kepercayaan berhala sudah di ambang pintu, dan bahwa usaha dakwahnya akin beroleh hasil gemilang. Di Majapahit dia disambut. dengan baik oleh Raja dan permaisuri dari Champa. Meskipun Raja menolak untuk masuk Islam, namun dia sangat menghargai usaha Raden Rahmat, malah mengangkatnya menjadi Gubernur di Ampel, sebelah timur Gresik, dan memberikan kepadanya kebebasan penuh untuk menyebarkan agama Islam. Dalam beberapa tahun Raden Rahmat berhasil mengislamkan hampir seluruh penduduk Ampel, yang waktu itu berjumlah kurang lebih 3000 kepala keluarga. Jadilah Ampel sebagai pusat Islam dan kemashyuran nama Raden Rahmat tersiar ke mana-mana karena sukses dan aktifitasnya menyiarkan agama”.

[15] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama…, hal. 61-62. Animisme berasal dari bahasa Latin, anima yang berarti jiwa atau roh. Bagi masyarakat primitif, semua alam dipenuhi oleh roh-roh yang tidak terhingga banyaknya, tidak, saja manusia atau binatang, tetapi benda-benda yang tidak hidup juga memiliki roh, seperti tulang atau batu. Jadi, animisme adalah paham tentang semua benda, baik bernyawa dan tidak bernyawa mempunyai jiwa/roh.

[16] Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I,  (Jakarta: Universitas Indonesia, 2010), hal. 63.  Kajian antropologi mengenai animisme di Indonesia pernah dilakukan A.C. Kruyt (1869-1949) seorang pendeta Belanda yang bekerja sebagai penyiar agama Nasrani di Toraja Sulawesi Tengah. Kajian Kruyt tersebut dikutip Koentjaraningrat yang mengatakan bahwa pada masyarakat primitif  atau manusia zaman kuno yang percaya akan adanya zat halus yang mampu memberi kekuatan hidup dan gerak kepada banyak hal di dalam alam semesta ini. Zat halus ini oleh Kruyt disebut sebagai zielestof yang berada dalam beberapa bagian tubuh manusia, binatang, tumbuhan dan benda-benda. Keyakinan terhadap zielestof ini oleh Kruyt disebut sebagai animisme. 

[17] Ridwan Hasan, Perspektif Sejarah: Berkembangnya Islam dan Sistem Perubahan Sosial dan Budaya Masyarakat Aceh, Proceedings of the ADIC 2012, Volume II. hal.714.  Kepercayaan bercorak animisme yang mempunyai kewujudan seperti makhluk halus terus ditanamkan oleh masyarakat khususnya di dalam wilayah Kabupaten Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe, walaupun telah menganut ajaran agama Islam.

[18] Ridwan Hasan, Perspektif Sejarah…,  hal. 709.

[19] Djoko Widagdho, Ilmu Budaya Dasar,  (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hal. 53.

[20] Wawancara dengan KEW tanggal 07 Februari 2014.

[21] Hasan Al Banna, Kumpulan Risalah Dakwah Hasan Al Banna. Terj. Khozin Abu Faqih, (Jakarta: Al I’tishom Cahaya Umat, 2006), hal. 93.

[22] Wawancara dengan IMi tanggal 03 April 2014.

[23] Justian Suhandinata, WNI Keturunan Tionghoa dalam Stabilitas Ekonomi & Politik Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), hal. 17.

[24] Wawancara dengan KEW  tanggal 07 Februari 2014.