Senin, 07 Juni 2021

Contoh Penerapan Manipulasi Pada Interaksi Simbolik

 

Manipulation (Manipulasi) Pada Interaksi Simbolik

Fakta menunjukkan bahwa orang Arab dan India proses adaptasinya jauh lebih mudah dan cepat diterima oleh masyarakat Indonesia. Sehingga interaksinya lebih berbentuk asosiatif dari pada disosiatif. Menurut Gillin dan Gillin interaksi asosiatif berwujud akomodasi, asimilasi dan akulturasi[1].  Sementara itu peranakan etnis Tionghoa yang tinggal di daerah yang mewah dan ekslusif di kota-kota besar interaksinya berbentuk disosiatif dengan etnis lainnya. Aswi Arman dalam Suhandinata mengatakan:

Etnis Tionghoa tinggal di daerah yang mewah dan ekslusif di kota-kota besar dan tidak suka bersosialisasi dengan masyarakat sekitarnya yang umumnya miskin dan sangat pas-pasan untuk menyambung hidup.[2] 

Selama pengamatan, masyarakat peranakan etnis Tionghoa di Aceh Barat banyak dijumpai tinggal di ruko-ruko di dalam kota seperti di sepanjang Jalan Singgah Mata, Nasional, Sudirman, dan Teuku Umar yang merupakan kompleks pertokoan. Di tempat seperti ini peranakan etnis Tionghoa memiliki kecenderungan tidak bersosialisasi, kecuali hanya dalam urusan bisnis saja. Tetapi masyarakat peranakan etnis Tionghoa yang miskin, cenderung tinggal dan berinteraksi dengan masyarakat di gampoeng-gampoeng pinggiran kota seperti Gampoeng Suak Ribee, Gampa, Lapang, Rundeng, dan Kecamatan Meurebo. Peranakan etnis Tionghoa yang tinggal dan menetap di pinggiran kota, umumnya telah berbaur atau menyatu dengan masyarakat Aceh.

Sepanjang pengamatan, peranakan etnis Tionghoa yang tinggal di tengah-tengah lingkungan masyarakat Aceh, lebih dapat bergaul dan menyatu (beradaptasi) dengan masyarakat Aceh. Selalu melakukan dialog dengan tetangga sekitar, melakukan kegiatan sosial bersama dan beberapa aktivitas sosial lainnya. Sementara peranakan etnis Tionghoa yang hidup dan tinggal di ruko bersama kelompoknya sesama etnis, cenderung kurang dapat berinteraksi dengan masyarakat Aceh. Keberadaannya di ruko dan tinggal bersama dalam lingkungan sesama etnis, seolah memberikan gambaran keengganannya bergaul dengan masyarakat Aceh. A. Rani Usman mengatakan:

Banyak etnis Cina yang memilih tinggal bersama etnisnya sendiri sehingga kehidupan mereka terkesan berkelompok dan senang hidup bersama dengan masya­rakat sesama etnisnya.[3]

Hasil observasi menunjukkan bahwa peranakan etnis Tionghoa yang telah menjadi muallaf di Aceh Barat saat ini cenderung ekonominya lebih buruk dari peranakan etnis Tionghoa umumnya. Ekonomi yang lebih buruk ini dapat dilihat dari pekerjaan dan bangunan rumah tempat tinggal yang tidak sebaik peranakan lainnya yang tinggal di ruko-ruko. Jenis pekerjaan dapat menggambarkan jumlah pendapatan yang kecil. Namun, muallaf peranakan etnis Tionghoa yang ada di tengah-tengah masyarakat Aceh lebih dapat diterima oleh masyarakat Aceh seperti halnya etnis Arab dan India di Indonesia. Etnis Arab dan India lebih dapat diterima masyarakat Aceh karena orang Aceh sangat mengenal budaya kedua etnis tersebut. Menurut Aswi Warman dalam Suhandinata memberikan gambaran bahwa orang Arab dan India lebih dapat diterima masyarakat Indonesia etnis lainnya, karena budaya Arab dan India sangat dikenali.[4] Lebih lanjut dijelaskan bahwa masyarakat Indonesia mengenal budaya Arab karena Islam yang dianut mayoritas penduduk berasal dari Arab, sehingga masyarakat lebih banyak memahami budaya Arab. Demikian halnya dengan etnis India, masyarakat juga mudah mengenal kebudayaan India dari agama Hindu yang dianut mayoritas penduduk sebelum datangnya Islam, dan masyarakat Indonesia hanya mengenal sedikit kebudayaan Tionghoa seperti barongsai dan kelenteng saja. 

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa muallaf peranakan etnis Tionghoa di Aceh Barat yang tinggal di gampoeng-gampoeng pinggir Kota Meulaboh lebih bisa beradaptasi dan berinteraksi dengan masyarakat Aceh daripada yang tinggal di ruko-ruko. Kondisi ini bukan karena masyarakat Aceh mengenal kebudayaan masyarakat peranakan etnis Tionghoa, tetapi karena lebih dekat dan sering berkumpul dalam kehidupan sehari-hari. Hasil pengamatan ini sesuai dengan yang dikatakan THg:

Banyak orang-orang Aceh yang main atau berkunjung ke rumah saya. Kalau kami ini ada yang tidak di suka oleh orang Aceh, kan pasti orang Aceh tidak ada yang mau datang kemari. Saya malah ada photo bersama dengan kawan-kawan Aceh itu, saya juga masih ada photo saat masuk Islam, kebetulan di rumah ini juga saya disyahadatkan. Ustadz dan masyarakat diundang kemari saat itu.[5]

THg juga menjelaskan bahwa dalam acara-acara adat seperti perkawinan, banyak masyarakat sekitar yang datang membantu dan bekerjasama mensukseskan acara tersebut. THg juga melakukan ritual-ritual seperti masyarakat Aceh lainnya seperti samadiah dan peusijuek di rumahnya. Pada ritual-ritual ini dapat digambarkan proses manipulasi persepsi yang didapatkan dari stimuli. Sebagai contoh ritual samadiah dan peusijuek ternyata dalam budaya Tionghoa juga dilakukan, hanya saja cara melakukan berbeda.

Tradisi berdo’a untuk leluhur yang sudah meninggal seperti samadiah itu ada juga pada orang Tionghoa, tetapi biasanya kan hanya dilakukan sekali saja setiap tahun. Do’a yang diucapkan kalau dalam tradisi Aceh ini kan pakai bahasa Arab, sementara pada peranakan etnis Tionghoa tidak begitu. Acara seperti peusijuek itu ada juga, kalau itu cara melakukannya hampir mirip. Sewaktu saya mengawinkan anak saya kan dengan adat Aceh, dengan adat Aceh kan pasti ada peusijueknya. Jadi seperti peusijuek ini kami tidak kaget, hanya sedikit berbeda apalagi yang melakukan bukan hanya kita sendiri, tetapi ada ustadz dan orang-orang lainnya.[6] 

THg dan muallaf lainnya merasa tidak asing lagi dengan ritual peusijuek, karena ritual semacam itu juga ada dalam kebudayaan yang dianut sebelumnya. Untuk dapat melakukan peusijuek, muallaf hanya melakukan sedikit perubahan seperti do’a dengan bahasa Arab, sementara peralatan dan cara melakukan sangat mirip dengan tradisi sebelumnya.[7]

Mengenai penggunaan busana seperti gamis, jilbab, peci, baju koko dan lainnya sebagai simbol-simbol muslim, muallaf belum sepenuhnya menggunakannya. Untuk itu pada tahap ini bagi muallaf yang belum mampu menggunakan dalam kehidupan sehari-hari penggunaannya menyesuaikan situasi. Misalnya ketika bepergian ke tempat-tempat umum dan diperkirakan berjumpa banyak orang, maka akan menggunakan jilbab, dan bila diperkirakan tidak akan berjumpa banyak orang secara langsung (bertatap muka/berbicara) maka tidak akan menggunakan pakaian muslim itu. Sedangkan dalam hal makanan yang dilarang karena telah memeluk Islam, muallaf menggantinya dengan daging yang lain dengan masakan yang sama. Sementara itu berkaitan dengan pandangan negatif tentang karakter etnis memanipulasinya dengan memandang orang etnis yang berbeda dalam keluarganya, dengan demikian pemikirannya akan terbuka untuk menerima kenyataan bahwa karakternya berbeda dari persepsi awal. Dengan menjadi muallaf perbedaan kedua etnis dapat dipersatukan. 

Muallaf Peranakan etnis Tionghoa di Aceh Barat yang semula memiliki budaya berbeda dengan masyarakat Aceh, kini dapat dipersatukan oleh agama Islam, sehingga dalam berpikir dan bertindak menyesuaikan dengan agamanya yang baru. Dengan perilaku dan aktivitas yang baru seperti salat, puasa, pengajian bersama, maka aktivitas yang dilakukan itu sama dengan yang dilakukan masyarakat Aceh. Kebersamaan dalam melakukan aktivitas keagamaan akan menghilangkan kepentingan pribadi, dan akan lebih mengutamakan kepentingan bersama. Mengutip pernyataan Durkheim, Bustanuddin Agus mengatakan:

Solidaritas itu direkat oleh agama. Dengan banyaknya ritual dan yang sakral dalam agama tersebut, manusia menghilangkan kepentingan pribadinya dan larut dalam kepentingan bersama.[8]

Melakukan aktivitas-aktivitas ini merupakan tahap ketiga dari teori interaksi simbolik yakni mengolah persepsi yang peroleh dari stimulus yang telah dipersepsikan sebagai suatu kebutuhan. Tahap akhir dari teori tersebut adalah melakukan interaksi dengan orang lain baik kepada keluarga baik yang belum menjadi muallaf atau sudah muallaf, dan dengan masyarakat Aceh.



[1] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar…, hal. 65.

[2] Justian Suhandinata, WNI Keturunan Tionghoa …,  hal. 317.

[3] A. Rani Usman, Etnis Cina Perantauan…., hal. 5.   

[4] Justian Suhandinata, WNI Keturunan Tionghoa …, hal. 317.

[5] Wawancara dengan THg tanggal 30 Maret 2014. 

[6] Wawancara dengan THg tanggal 30 Maret 2014.

[7] Wawancara dengan THg tanggal 30 Maret 2014.

[8] Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi Agama,  (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 203.