Consummation (pelaksanaan) Pada
Interaksi Simbolik
Tindakan
merupakan proses terakhir dalam beradaptasi setelah serangkaian panjang yang
dimulai dari impuls, perception dan manipulation. Tindakan paling tinggi
dalam adaptasi oleh peranakan etnis Tionghoa Aceh Barat adalah bersedia untuk
menikah dengan masyarakat Aceh. Keputusan seperti ini tidak mudah dan sangat
berat, sama beratnya ketika memutuskan untuk memilih menjadi muallaf. Karena
masyarakat Aceh yang mayoritas muslim hanya menikah dengan sesama muslim,
sehingga peranakan Etnis Tionghoa yang tidak muslim tidak akan dinikahi. Keputusan tersebut menunjukkan adaptasi
muallaf peranakan etnis Tionghoa di Aceh Barat dengan masyarakat Aceh berjalan
sangat baik. Inti dari consummation adalah
bahwa muallaf telah mampu melakukan aktivitas yang sama dengan orang Aceh dalam
hal beragama termasuk tidak makan makanan yang dilarang, melaksanakan tradisi
yang sama, berbusana sopan, dan memiliki persepsi yang lebih baik tentang
karakter orang Aceh.
Adaptasi
yang baik tersebut dapat dilihat dari interaksi yang terjalin dari keduanya. Interaksi
dengan orang Aceh tersebut, selain ditunjukkan dengan adanya perempuan-perempuan
dan laki-laki peranakan etnis Tionghoa yang telah memeluk agama Islam juga
menikah dengan orang Islam, juga ditunjukkan bahwa muallaf peranakan etnis
Tionghoa, dapat hidup bersama dengan keluarga besar orang Islam dalam satu
rumah dengan baik. Selain hubungan yang baik dengan keluarga besar orang Aceh,
muallaf peranakan etnis Tionghoa juga dapat bergaul dengan orang Aceh di
lingkungan rumahnya. Muallaf peranakan etnis Tionghoa memiliki pandangan bahwa
orang Aceh adalah orang yang tidak pilih-pilih, bahkan tatakramanya juga baik
di dalam pergaulan atau kehidupan sosial.
Kalau orang Aceh ini kan ada tata kramanya, kalau dibanding
kita bergaul dengan orang Tionghoa. Orang Tionghoa kan kurang ada tata krama
antara anak sama bapak, kehidupannya sudah seperti artis. Peluk-pelukan sebagai
salamannya, cium sana sini. Orang Aceh baik-baik semua, dengan siapa saja bisa
bergaul, kalau orang Tionghoa kan bergaul pilih-pilih, harus yang kaya, yang
dari orang Tionghoa. Mereka berpikir orang Aceh itu, jahat, miskin, dan kotor,
mereka juga takut anaknya membandel dan dianggap durhaka.[1]
Orang
Aceh dianggap sangat baik dalam berinteraksi (bergaul) dengan muallaf peranakan
etnis Tionghoa. Cara berinteraksi orang Aceh tidak harus dengan orang yang
kaya, tidak dibatasi hanya orang Aceh saja, dan tatakrama sebagai cerminan
keislamannya menjadi sorotan penting bagi muallaf peranakan etnis Tionghoa. Selain
interaksi yang mengedepankan tatakrama
yang baik, muallaf peranakan etnis Tionghoa juga memandang kehidupan sosial
orang Aceh sangat religius. Ini dibuktikan dengan banyaknya kelompok-kelompok
pengajian seperti majelis taklim dan kelompok wirid. Dalam berpakaian perempuan
Aceh juga sangat sopan, pakaian yang digunakan cenderung berbentuk gamis atau
sejenisnya yang dapat menutup anggota tubuhnya. Sikap orang Aceh yang baik dan
terbuka ini sangat memudahkan muallaf peranakan etnis Tionghoa dalam
berinteraksi. Pendapat IMi menunjukkan dari sisi persepsi dan aktivitasnya
telah menerima bahwa menggunakan busana muslim layaknya digunakan orang
perempuan Aceh adalah sopan dan baik.
Muallaf
peranakan etnis Tionghoa beradaptasi melalui interaksi sehari-hari dengan orang
Aceh, selain itu juga melakukan kegiatan ibadah bersama seperti buka bersama
dan tarawih. Hal ini seperti dikatakan IMi Liza alias Ay:
Kami lakukan tarawih bersama-sama, kadang juga mendapat
undangan dari berbagai tempat, sehingga kami juga datang ke tempat-tempat
undangan itu, bahkan ada juga undangan yang berasal dari Banda Aceh.[2]
Pernyataan
IMi Liza alias Ay ini juga dipertegas oleh THg:
Silaturahmi ya ada, kita kan tidak bisa hidup sendirian.
Banyak orang-orang Aceh yang main atau berkunjung ke rumah saya. Kalau kami ini
ada yang tidak di suka oleh orang Aceh, kan pasti orang Aceh tidak ada yang mau
datang kemari.Saya malah ada photo dengan kawan-kawan Aceh itu, saya juga masih
ada photo saat masuk Islam, kebetulan di rumah ini juga saya disyahadatkan.
Ustadz dan masyarakat diundang kemari saat itu.[3]
Pernyataan
Ay menunjukkan aktivitas keagamaan yang dilakukan bersama-sama dengan orang
Islam pada umumnya, sementara THg menunjukkan sikap keterbukaannya dengan
masyarakat Aceh sehingga orang Aceh banyak yang datang meski sekedar
bersilaturahmi. Peneliti juga melihat photo THg bersama orang-orang Aceh yang
pernah bekerja di pabrik es Meulaboh. Photo itu sudah usang, namun THg masih
menyimpannya sebagai kenang-kenangan. Dalam photo itu nampak kehangatan
suasana, sehingga dapat diinterpretasikan sebagai hangatnya hubungan antara THg
yang Tionghoa dengan orang-orang Aceh sesama pekerja di pabrik es.
Adaptasi
yang baik muallaf peranakan etnis Tionghoa di Aceh Barat, juga ditunjukkan
dengan aktivitas adat istiadat atau tradisi dalam acara kelahiran dan
menikahkan anaknya. Melaksanakan adat istiadat dan tradisi Aceh, tidak bisa
dilakukan sendiri, THg, dan muallaf lainnya memerlukan orang lain untuk membantunya.
Selain melakukan acara adat yang melibatkan orang lain, muallaf juga turut
membantu tetangga ketika memerlukan tenaganya:
Kalau ada tetangga sedang ada kenduri atau
hajatan, saya datang juga untuk membantu. Sebenarnya tergantung situasi juga,
kalau kita tengok pekerjaan dapur sudah selesai ya kita duduk-duduk saja
meramaikan acara, tetapi kalau masih banyak pekerjaannya, ya saya membantu.
Kita ini kan hidup bersama-sama tetangga, saat kita ada kenduri kan dibantu
juga sama tetangga, seperti saat saya meucicap
anak saya, tetangga kan banyak juga datang membantu acaranya sampai
selesai. Jadi kita juga harus bantu tetangga saat tenaga kita diperlukan,
biasanya yang namanya kenduri itu kan selalu ada saja pekerjaan yang bisa
dilakukan tetangga untuk membantu.[4]
Bagi
muallaf peranakan etnis Tionghoa di Aceh Barat, kehidupannya sudah menyatu
dengan masyarakat Aceh, apa yang dilakukan masyarakat Aceh juga dilakukannya.
Ketika tetangga membantu setiap ada acara yang memerlukan bantuan tetangga yang
lain, muallaf peranakan etnis Tionghoa juga datang membantu. Begitu sebaliknya,
ketika muallaf peranakan etnis Tionghoa memerlukan bantuan tenaga tetangga,
tetangga juga datang membantu. Interaksi asosiatif telah terbentuk dalam
kehidupan muallaf sehari-hari. Sikap orang Aceh terhadap orang yang beragama
selain Islam juga dipandang sangat toleran oleh muallaf. Syariat Islam yang
diterapkan di Aceh justru menjamin kehidupan warga masyarakat Aceh non Islam
untuk hidup bersama-sama memajukan Aceh. Syariat Islam tidak digunakan alasan
orang Aceh muslim untuk mengusir yang non muslim. Seorang muallaf peranakan
etnis Tionghoa mengatakan,”di kota Meulaboh kan banyak orang Tionghoa yang bukan Islam,
tetapi juga tidak ada masalah, orang Aceh tidak mengusir mereka”.[5]
Kehidupan
syariat di Aceh dipandang sesuai dengan pemerintahan Muhammad yang juga
menjamin orang-orang non muslim untuk hidup bersama-sama dengan orang muslim, menjaga
dan mempertahankan Kota Madinah.[6] Interaksi
yang baik (asosiatif) antara Islam dan non Islam juga ditunjukkan oleh
pemerintahan Islam di zaman Abbasiyah. Pada zaman khalifah al-Mansur dan Harun
ar-Rasyid, melakukan hubungan kerjasama dengan pemerintahan kerajaan di Eropa
yang beragama Masehi, untuk menjamin stabilitas negerinya.[7]
Beberapa
kerjasama yang pernah diterapkan pemerintahan Islam terhadap non Islam tersebut,
menjadi contoh penerapan syariat Islam di Aceh, di mana syariat Islam hanya
diberlakukan kepada warga masyarakat yang Islam saja. Warga masyarakat non
Islam tidak diberlakukan menjalankan syariat Islam. Gubernur Aceh Zaini
Abdullah mengatakan “Kami memastikan bahwa, penerapan Syariat Islam hanya untuk
orang Islam. Bukan untuk non muslim”. [8]
Serambi Indonesia juga menyebutkan bahwa di Aceh terdapat ratusan rumah ibadah
non muslim di seluruh Aceh, yaitu 154 gereja, 14 vihara, 2 klenteng. Dengan
banyaknya tempat ibadah non muslim ini menunjukkan keberadaan masyarakat yang
beragama selain Islam, untuk itu pemerintah Aceh menjamin bahwa syariat Islam
tidak diterapkan bagi golongan non muslim yang menetap atau melakukan kegiatan
di Aceh. Pemberlakuan syariat itu sesuai dengan Qanun (Peraturan Daerah) Aceh
Nomor 11 Tahun 2002 Pasal 13 bahwa Syariat Islam hanya diberlakukan bagi
penduduk Aceh yang muslim. Hal itu juga ditegaskan oleh Kepala Dinas Syariat
Islam Syahriyal Abbas:
Sama sekali tidak pemaksaan bagi non muslim
menjalankan Syariat Islam, ini bertentangan dengan dasar agama. Dalam ajaran
Islam, juga sudah ditegaskan bahwa agamamu bagimu dan agamaku bagiku.[9]
Adaptasi
muallaf dengan anggota keluarga besar yang beragama lain sangat sulit. Hal ini
ditunjukkan dengan interaksi kedua pihak yang cukup keras atau sering terjadi
keributan. Keributan sering muncul akibat keluarga tidak setuju dengan
keputusan yang diambil seorang muallaf, seperti dikatakan Aw:
Saya ada kejadian, waktu saya masuk Islam, pernah kakak ipar
saya meludahi pas di muka saya, bahkan saya juga diusir dari keluarga memakai
sapu. Mungkin karena saya sudah ada tanam ilmu Islam sehingga saya tetap pada
pendirian. Mereka memandang Islam itu buruk, keras, kasar, banyak teroris, dan
memutus hubungan dengan leluhur. Beberapa orang juga mengalami hal seperti itu,
sebagian ada juga yang membatalkan menjadi muallaf karena akan diusir dari
keluarganya, hubungan dengan kawan-kawan bisnis juga bisa putus, jadi memang
berat tantangan menjadi seorang muallaf.[10]
Interaksi
muallaf dengan keluarga yang belum Islam benar-benar sangat sulit, pengalaman Aw
yang diludahi tepat di wajahnya belum cukup memuaskan amarah dari keluarga
besarnya, puncaknya Aw harus diusir dari keluarga. Menjadi Katholik bukan
masalah besar bagi keluarga Aw, namun menjadi Islam justru menjadi masalah.
Orang-orang Islam dipandang kasar, sadis, anarkis, teroris dan lain-lainnya. Interpretasi
peneliti, pandangan tersebut dipengaruhi aksi-aksi beberapa organisasi
keislaman yang sering merusak usaha dagang, atau bisnis-bisnis orang-orang
Tionghoa di beberapa daerah. Pengalaman sedikit berbeda disampaikan IMi:
Kalau orang tua tidak masalah, kebetulan orang tua sudah
Islam semua, tetapi saya tidak dipaksa masuk Islam, dan dibiarkan mau beragama
apa. Beda dengan saudara ayah. Saudara di Blangpidie ada adik bapak yang
menjual mie kocok, katanya begini “kamu sudah siap masuk Islam?”. “udah” saya
bilang. Dia tanya lagi “Mau nggak kamu masuk agama saya, saya kasih kamu Rp. 50
juta (lima
puluh juta rupiah)?” “Maaf ya, kalau
uang sebentar habis, kalau kita meninggal
tidak cukup dengan uang”, saya bilang gitu. Demi allah saya tolak uang Rp. 50
juta (lima
puluh juta rupiah) itu, saya nggak mau duit.
Saya perlu dunia akherat, saya perlu ibadah sebelum dipanggil sama Allah, makanya
orang-orang Tionghoa di sini nggak ada yang open
(peduli) dengan kami. Pemilik yamaha (show
room) di Gampa ini kan saudara bapak, Tionghoa pemilik Ahas di jalan
Manekro itu, yang gemuk-gemuk itu saudara bapak juga. Mereka tidak open (peduli) lagi sama saya, dulu bapak
juga diusir orang tua (kakek) karena masuk islam.[11]
Orang tua
IMi diusir dari keluarga besarnya karena menjadi muallaf, dan IMi yang masa
kecilnya belum muslim sampai menjadi muallaf juga tidak dipedulikan oleh
keluarga besarnya. Orang tua IMi sendiri tidak mewajibkan IMi untuk memeluk
Islam, sehingga IMi sempat pergi ke gereja dalam acara peribadatan.
[1] Wawancara dengan IMi tanggal 03
April 2014.
[2] Wawancara dengan MLa tanggal 26
Maret 2014.
[3] Wawancara dengan THg tanggal 30
Maret 2014.
[4] Wawancara dengan Ay tanggal 26
Maret 2014.
[5] Wawancara dengan THg tanggal 30
Maret 2014.
[6] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 26. Di
Madinah, di samping orang Islam, juga terdapat golongan masyarakat Yahudi dan
orang-orang Arab yang masih menganut agama nenek moyang. Agar stabilitas
masyarakat dapat diwujudkan, Muhammad mengadakan ikatan perjanjian dengan kedua
golongan itu. Sebuah piagam yang menjamin kebebasan beragama. Setiap golongan
masyarakat memiliki hak tertentu dalam bidang politik dan keagamaan.
Kemerdekaan beragama dijamin, dan
seluruh anggota masyarakat berkewajiban mempertahankan keamanan negeri itu dari
serangan luar.
[7] Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3. Terj.
Muhammad Labib Ahmad, (Jakarta: Pustaka
AlHusna, 1993), hal. 208.
[8]http://aceh.tribunnews.com/2014/02/19/gubernur-jamin-kebebasan-beragama-di-aceh. (diakses tanggal 19 Februari
2014).
[9]http://aceh.tribunnews.com/2014/02/19/gubernur-jamin-kebebasan-beragama-di-aceh. (diakses tanggal 19 Februari
2014).
[10] Wawancara dengan KEW tanggal 07
Februari 2014.
[11] Wawancara dengan IMi tanggal 03
April 2014.