Senin, 07 Juni 2021

Contoh Penerapan Consummation (pelaksanaan/aksi) Pada Interaksi Simbolik

 

Consummation (pelaksanaan) Pada Interaksi Simbolik

Tindakan merupakan proses terakhir dalam beradaptasi setelah serangkaian panjang yang dimulai dari impuls, perception dan manipulation. Tindakan paling tinggi dalam adaptasi oleh peranakan etnis Tionghoa Aceh Barat adalah bersedia untuk menikah dengan masyarakat Aceh. Keputusan seperti ini tidak mudah dan sangat berat, sama beratnya ketika memutuskan untuk memilih menjadi muallaf. Karena masyarakat Aceh yang mayoritas muslim hanya menikah dengan sesama muslim, sehingga peranakan Etnis Tionghoa yang tidak muslim tidak akan dinikahi.    Keputusan tersebut menunjukkan adaptasi muallaf peranakan etnis Tionghoa di Aceh Barat dengan masyarakat Aceh berjalan sangat baik. Inti dari consummation adalah bahwa muallaf telah mampu melakukan aktivitas yang sama dengan orang Aceh dalam hal beragama termasuk tidak makan makanan yang dilarang, melaksanakan tradisi yang sama, berbusana sopan, dan memiliki persepsi yang lebih baik tentang karakter orang Aceh. 

Adaptasi yang baik tersebut dapat dilihat dari interaksi yang terjalin dari keduanya. Interaksi dengan orang Aceh tersebut, selain ditunjukkan dengan adanya perempuan-perempuan dan laki-laki peranakan etnis Tionghoa yang telah memeluk agama Islam juga menikah dengan orang Islam, juga ditunjukkan bahwa muallaf peranakan etnis Tionghoa, dapat hidup bersama dengan keluarga besar orang Islam dalam satu rumah dengan baik. Selain hubungan yang baik dengan keluarga besar orang Aceh, muallaf peranakan etnis Tionghoa juga dapat bergaul dengan orang Aceh di lingkungan rumahnya. Muallaf peranakan etnis Tionghoa memiliki pandangan bahwa orang Aceh adalah orang yang tidak pilih-pilih, bahkan tatakramanya juga baik di dalam pergaulan atau kehidupan sosial.

Kalau orang Aceh ini kan ada tata kramanya, kalau dibanding kita bergaul dengan orang Tionghoa. Orang Tionghoa kan kurang ada tata krama antara anak sama bapak, kehidupannya sudah seperti artis. Peluk-pelukan sebagai salamannya, cium sana sini. Orang Aceh baik-baik semua, dengan siapa saja bisa bergaul, kalau orang Tionghoa kan bergaul pilih-pilih, harus yang kaya, yang dari orang Tionghoa. Mereka berpikir orang Aceh itu, jahat, miskin, dan kotor, mereka juga takut anaknya membandel dan dianggap durhaka.[1]  

 

Orang Aceh dianggap sangat baik dalam berinteraksi (bergaul) dengan muallaf peranakan etnis Tionghoa. Cara berinteraksi orang Aceh tidak harus dengan orang yang kaya, tidak dibatasi hanya orang Aceh saja, dan tatakrama sebagai cerminan keislamannya menjadi sorotan penting bagi muallaf peranakan etnis Tionghoa. Selain interaksi  yang mengedepankan tatakrama yang baik, muallaf peranakan etnis Tionghoa juga memandang kehidupan sosial orang Aceh sangat religius. Ini dibuktikan dengan banyaknya kelompok-kelompok pengajian seperti majelis taklim dan kelompok wirid. Dalam berpakaian perempuan Aceh juga sangat sopan, pakaian yang digunakan cenderung berbentuk gamis atau sejenisnya yang dapat menutup anggota tubuhnya. Sikap orang Aceh yang baik dan terbuka ini sangat memudahkan muallaf peranakan etnis Tionghoa dalam berinteraksi. Pendapat IMi menunjukkan dari sisi persepsi dan aktivitasnya telah menerima bahwa menggunakan busana muslim layaknya digunakan orang perempuan Aceh adalah sopan dan baik.

Muallaf peranakan etnis Tionghoa beradaptasi melalui interaksi sehari-hari dengan orang Aceh, selain itu juga melakukan kegiatan ibadah bersama seperti buka bersama dan tarawih. Hal ini seperti dikatakan IMi Liza alias Ay:

Kami lakukan tarawih bersama-sama, kadang juga mendapat undangan dari berbagai tempat, sehingga kami juga datang ke tempat-tempat undangan itu, bahkan ada juga undangan yang berasal dari Banda Aceh.[2]

 

Pernyataan IMi Liza alias Ay ini juga dipertegas oleh THg:

Silaturahmi ya ada, kita kan tidak bisa hidup sendirian. Banyak orang-orang Aceh yang main atau berkunjung ke rumah saya. Kalau kami ini ada yang tidak di suka oleh orang Aceh, kan pasti orang Aceh tidak ada yang mau datang kemari.Saya malah ada photo dengan kawan-kawan Aceh itu, saya juga masih ada photo saat masuk Islam, kebetulan di rumah ini juga saya disyahadatkan. Ustadz dan masyarakat diundang kemari saat itu.[3]

 

Pernyataan Ay menunjukkan aktivitas keagamaan yang dilakukan bersama-sama dengan orang Islam pada umumnya, sementara THg menunjukkan sikap keterbukaannya dengan masyarakat Aceh sehingga orang Aceh banyak yang datang meski sekedar bersilaturahmi. Peneliti juga melihat photo THg bersama orang-orang Aceh yang pernah bekerja di pabrik es Meulaboh. Photo itu sudah usang, namun THg masih menyimpannya sebagai kenang-kenangan. Dalam photo itu nampak kehangatan suasana, sehingga dapat diinterpretasikan sebagai hangatnya hubungan antara THg yang Tionghoa dengan orang-orang Aceh sesama pekerja di pabrik es.

Adaptasi yang baik muallaf peranakan etnis Tionghoa di Aceh Barat, juga ditunjukkan dengan aktivitas adat istiadat atau tradisi dalam acara kelahiran dan menikahkan anaknya. Melaksanakan adat istiadat dan tradisi Aceh, tidak bisa dilakukan sendiri, THg, dan muallaf lainnya memerlukan orang lain untuk membantunya. Selain melakukan acara adat yang melibatkan orang lain, muallaf juga turut membantu tetangga ketika memerlukan tenaganya:

Kalau ada tetangga sedang ada kenduri atau hajatan, saya datang juga untuk membantu. Sebenarnya tergantung situasi juga, kalau kita tengok pekerjaan dapur sudah selesai ya kita duduk-duduk saja meramaikan acara, tetapi kalau masih banyak pekerjaannya, ya saya membantu. Kita ini kan hidup bersama-sama tetangga, saat kita ada kenduri kan dibantu juga sama tetangga, seperti saat saya meucicap anak saya, tetangga kan banyak juga datang membantu acaranya sampai selesai. Jadi kita juga harus bantu tetangga saat tenaga kita diperlukan, biasanya yang namanya kenduri itu kan selalu ada saja pekerjaan yang bisa dilakukan tetangga untuk membantu.[4]

       

Bagi muallaf peranakan etnis Tionghoa di Aceh Barat, kehidupannya sudah menyatu dengan masyarakat Aceh, apa yang dilakukan masyarakat Aceh juga dilakukannya. Ketika tetangga membantu setiap ada acara yang memerlukan bantuan tetangga yang lain, muallaf peranakan etnis Tionghoa juga datang membantu. Begitu sebaliknya, ketika muallaf peranakan etnis Tionghoa memerlukan bantuan tenaga tetangga, tetangga juga datang membantu. Interaksi asosiatif telah terbentuk dalam kehidupan muallaf sehari-hari. Sikap orang Aceh terhadap orang yang beragama selain Islam juga dipandang sangat toleran oleh muallaf. Syariat Islam yang diterapkan di Aceh justru menjamin kehidupan warga masyarakat Aceh non Islam untuk hidup bersama-sama memajukan Aceh. Syariat Islam tidak digunakan alasan orang Aceh muslim untuk mengusir yang non muslim. Seorang muallaf peranakan etnis Tionghoa mengatakan,”di kota Meulaboh kan banyak orang Tionghoa yang bukan Islam, tetapi juga tidak ada masalah, orang Aceh tidak mengusir mereka”.[5] Kehidupan syariat di Aceh dipandang sesuai dengan pemerintahan Muhammad yang juga menjamin orang-orang non muslim untuk hidup bersama-sama dengan orang muslim, menjaga dan mempertahankan Kota  Madinah.[6] Interaksi yang baik (asosiatif) antara Islam dan non Islam juga ditunjukkan oleh pemerintahan Islam di zaman Abbasiyah. Pada zaman khalifah al-Mansur dan Harun ar-Rasyid, melakukan hubungan kerjasama dengan pemerintahan kerajaan di Eropa yang beragama Masehi, untuk menjamin stabilitas negerinya.[7]

Beberapa kerjasama yang pernah diterapkan pemerintahan Islam terhadap non Islam tersebut, menjadi contoh penerapan syariat Islam di Aceh, di mana syariat Islam hanya diberlakukan kepada warga masyarakat yang Islam saja. Warga masyarakat non Islam tidak diberlakukan menjalankan syariat Islam. Gubernur Aceh Zaini Abdullah mengatakan “Kami memastikan bahwa, penerapan Syariat Islam hanya untuk orang Islam. Bukan untuk non muslim”. [8] Serambi Indonesia juga menyebutkan bahwa di Aceh terdapat ratusan rumah ibadah non muslim di seluruh Aceh, yaitu 154 gereja, 14 vihara, 2 klenteng. Dengan banyaknya tempat ibadah non muslim ini menunjukkan keberadaan masyarakat yang beragama selain Islam, untuk itu pemerintah Aceh menjamin bahwa syariat Islam tidak diterapkan bagi golongan non muslim yang menetap atau melakukan kegiatan di Aceh. Pemberlakuan syariat itu sesuai dengan Qanun (Peraturan Daerah) Aceh Nomor 11 Tahun 2002 Pasal 13 bahwa Syariat Islam hanya diberlakukan bagi penduduk Aceh yang muslim. Hal itu juga ditegaskan oleh Kepala Dinas Syariat Islam Syahriyal Abbas:

Sama sekali tidak pemaksaan bagi non muslim menjalankan Syariat Islam, ini bertentangan dengan dasar agama. Dalam ajaran Islam, juga sudah ditegaskan bahwa agamamu bagimu dan agamaku bagiku.[9]

 

Adaptasi muallaf dengan anggota keluarga besar yang beragama lain sangat sulit. Hal ini ditunjukkan dengan interaksi kedua pihak yang cukup keras atau sering terjadi keributan. Keributan sering muncul akibat keluarga tidak setuju dengan keputusan yang diambil seorang muallaf, seperti dikatakan Aw:

Saya ada kejadian, waktu saya masuk Islam, pernah kakak ipar saya meludahi pas di muka saya, bahkan saya juga diusir dari keluarga memakai sapu. Mungkin karena saya sudah ada tanam ilmu Islam sehingga saya tetap pada pendirian. Mereka memandang Islam itu buruk, keras, kasar, banyak teroris, dan memutus hubungan dengan leluhur. Beberapa orang juga mengalami hal seperti itu, sebagian ada juga yang membatalkan menjadi muallaf karena akan diusir dari keluarganya, hubungan dengan kawan-kawan bisnis juga bisa putus, jadi memang berat tantangan menjadi seorang muallaf.[10]    

 

Interaksi muallaf dengan keluarga yang belum Islam benar-benar sangat sulit, pengalaman Aw yang diludahi tepat di wajahnya belum cukup memuaskan amarah dari keluarga besarnya, puncaknya Aw harus diusir dari keluarga. Menjadi Katholik bukan masalah besar bagi keluarga Aw, namun menjadi Islam justru menjadi masalah. Orang-orang Islam dipandang kasar, sadis, anarkis, teroris dan lain-lainnya. Interpretasi peneliti, pandangan tersebut dipengaruhi aksi-aksi beberapa organisasi keislaman yang sering merusak usaha dagang, atau bisnis-bisnis orang-orang Tionghoa di beberapa daerah. Pengalaman sedikit berbeda disampaikan IMi:

Kalau orang tua tidak masalah, kebetulan orang tua sudah Islam semua, tetapi saya tidak dipaksa masuk Islam, dan dibiarkan mau beragama apa. Beda dengan saudara ayah. Saudara di Blangpidie ada adik bapak yang menjual mie kocok, katanya begini “kamu sudah siap masuk Islam?”. “udah” saya bilang. Dia tanya lagi “Mau nggak kamu masuk agama saya, saya kasih kamu Rp. 50 juta (lima puluh juta rupiah)?” “Maaf ya, kalau uang  sebentar habis, kalau kita meninggal tidak cukup dengan uang”, saya bilang gitu. Demi allah saya tolak uang Rp. 50 juta (lima puluh juta rupiah) itu, saya nggak mau duit. Saya perlu dunia akherat, saya perlu ibadah sebelum dipanggil sama Allah, makanya orang-orang Tionghoa di sini nggak ada yang open (peduli) dengan kami. Pemilik yamaha (show room) di Gampa ini kan saudara bapak, Tionghoa pemilik Ahas di jalan Manekro itu, yang gemuk-gemuk itu saudara bapak juga. Mereka tidak open (peduli) lagi sama saya, dulu bapak juga diusir orang tua (kakek) karena masuk islam.[11]

 

Orang tua IMi diusir dari keluarga besarnya karena menjadi muallaf, dan IMi yang masa kecilnya belum muslim sampai menjadi muallaf juga tidak dipedulikan oleh keluarga besarnya. Orang tua IMi sendiri tidak mewajibkan IMi untuk memeluk Islam, sehingga IMi sempat pergi ke gereja dalam acara peribadatan.

Kondisi keuangan keluarga IMi saat ini sangat buruk, IMi terpaksa kerja keras sebagai pemulung dan menjadi pengasuh seorang anak dari keluarga seorang dokter yang tinggal di Meulaboh. Rumah yang ditempati bersama saudara-saudara suaminya adalah rumah kontrakan, tetapi kondisi seperti ini tidak menggerakkan hati saudara ayahnya yang belum muslim untuk membantu dalam memperbaiki ekonomi keluarga IMi. IMi akan dibantu jika bersedia kembali ke agama semula, dengan diberikan uang sejumlah Rp. 50 juta (lima puluh juta rupiah). Meski demikian dan demi menjalin silaturahmi, IMi tetap mengunjungi saudara-saudara ayahnya yang kaya-kaya itu ketika perayaan Imlek. Muallaf peranakan etnis Tionghoa meskipun tidak diterima dalam keluarga lagi, tetap menunjukkan i’tikat baik untuk selalu menjalin silaturahmi. Perbuatan baik, arif dan bijaksana dalam Islam juga merupakan dakwah ajaran Islam. Jadi proses adaptasi dan interaksi muallaf peranakan etnis Tionghoa dengan keluarga besar adalah tetap melakukan perbuatan baik dan menjalin silaturahmi.    


[1] Wawancara dengan IMi tanggal 03 April 2014.

[2] Wawancara dengan MLa tanggal 26 Maret 2014.

[3] Wawancara dengan THg tanggal 30 Maret 2014.

[4] Wawancara dengan Ay tanggal 26 Maret 2014.

[5] Wawancara dengan THg tanggal 30 Maret 2014.

[6] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam…, hal. 26. Di Madinah, di samping orang Islam, juga terdapat golongan masyarakat Yahudi dan orang-orang Arab yang masih menganut agama nenek moyang. Agar stabilitas masyarakat dapat diwujudkan, Muhammad mengadakan ikatan perjanjian dengan kedua golongan itu. Sebuah piagam yang menjamin kebebasan beragama. Setiap golongan masyarakat memiliki hak tertentu dalam bidang politik dan keagamaan. Kemerdekaan  beragama dijamin, dan seluruh anggota masyarakat berkewajiban mempertahankan keamanan negeri itu dari serangan luar. 

[7] Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3. Terj. Muhammad Labib Ahmad,  (Jakarta: Pustaka AlHusna, 1993),  hal. 208.

[10] Wawancara dengan KEW tanggal 07 Februari 2014.

[11] Wawancara dengan IMi tanggal 03 April 2014.