Senin, 07 Juni 2021

Contoh Pembahasan Teori dan Data

  Model Proses Adaptasi Peranakan Etnis Tionghoa Muallaf di Aceh Barat

Tahap-tahap adaptasi yang dilakukan peranakan etnis Tionghoa di Aceh Barat, sesuai tahapan teori interaksi simbolik dapat digambarkan dengan model seperti di bawah:

No

Aktivitas

Impuls

Perception

Manipulation

Actions

1

Interaksi dengan orang Aceh (silaturahmi)

Kesadaran bahwa setiap orang memerlukan orang lain

Perbedaan nilai-nilai budaya

Resosialisasi

Asosiatif (kerjasama)

2

Tradisi

Kesadaran bahwa dirinya bagian dari masyarakat Aceh

Perbedaan nilai dalam tradisi baru disadari

Asimilasi

Melakukan tradisi Aceh

3

Kepercayaan

Kesadaran dirinya sebagai muallaf yang tidak ada hubungan dekat dengan keluarga besar

Perbedaan Nilai-nilai, dan norma-norma baru (islam)

Pendalaman agama melalui pembinaan

Melakukan ibadah sesuai agama Islam semampunya

 

Gambar 5: Model Tahapan Adaptasi Muallaf Peranakan Etnis Tionghoa dengan Masyarakat Aceh di Kabupaten Aceh Barat

Gambar model di atas merupakan tahapan adaptasi muallaf peranakan etnis Tionghoa di Kabupaten Aceh Barat pada tentang interaksi, tradisi, dan kepercayaan dengan masyarakat Aceh. Impuls adalah rangsangan yang diterima oleh muallaf peranakan etnis Tionghoa, di mana rangsangan ini cenderung pada kesadaran muallaf bahwa dirinya memerlukan orang lain, sadar bahwa dirinya merupakan bagian dari masyarakat Aceh, dan sadar bahwa dirinya adalah muallaf yang sudah tidak ada lagi hubungan dekat dengan keluarga besar. 

Persepsinya mengakui adanya perbedaan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat, yang sangat berpengaruh dalam interaksinya dengan masyarakat Aceh. Untuk itu, perlu melakukan resosialisai, pendalaman mengenai agama Islam, bahkan berasimilasi (menghilangkan kepercayaan lama dan menjadikan Islam sebagai pengganti). Hal itu dilakukan dalam manipulasi atau dalam hal ini mengolah persepsi. Sedangkan langkah terakhir adalah melakukan silaturahmi sebagai wujud nyata interaksi, melakukan tradisi Aceh untuk acara-acara kelahiran, perkawinan dan acara lainnya, serta melakukan ibadah sesuai agama Islam. Ini dilakukan bukan hanya karena merasa menjadi orang Aceh, tetapi memang keluarganya adalah orang Aceh (sebagai istri atau suami orang Aceh) yang memeluk agama Islam.

Pembahasan

Keputusan beberapa orang dari peranakan etnis Tionghoa menjadi muallaf sesungguhnya tidak terlepas dari aktivitas dakwah yang dilakukan oleh umat Islam di Aceh Barat. Dakwah yang dilakukan bukan merupakan dakwah lisan yang langsung mendatangkan peranakan etnis Tionghoa non muslim dalam suatu tempat, kemudian diberikan ceramah pemahaman, tetapi lebih kepada dakwah yang mengedepankan sikap dan tindakan, serta nasihat yang baik. Dakwah dengan lisan mengedepankan tutur kata yang baik, lemah lembut, menyejukkan, namun tegas dan bijaksana sering terdengar ketika ada ceramah di masjid, dan ketika orang-orang dalam pergaulannya mengatakan tentang agama Islam, hal ini dialami oleh Ay.

Mulai dari sini...sampai dengan gambar bagan/model tidak ditampilkan lebih lanjut didiskusikan saat di kelas.

 

 

 

 

 

 

Gambar 6: Model ........gambar tidak ditampilkan

 Dakwah dengan hikmah lebih mengedepankan perbuatan-perbuatan yang baik (kebajikan). Corak dakwah ini dialami oleh THg dan IMi, sehingga IMi berkeinginan membahagiakan ayahnya di akhirat dan untuk itu IMi harus memeluk Islam agar tercapai, karena ayahnya telah memutuskan menjadi muallaf. Sementara itu dakwah dengan kitab, mengedepankan penggunaan tulisan ternyata mampu membuat Aw menjadi muallaf, meskipun dilalui dengan perjalanan panjang. Awalnya Aw hanya ingin mengetahui siapa Maryam, yang diagungkan dalam agamanya, sehingga mempelajari buku-buku agama Islam yang mencantumkan tentang Maryam, dan akhirnya peristiwa demi peristiwa menghantarkannya menjadi muallaf.

Semua informan memiliki kisah dan argumen masing-masing ketika mengutarakan bagaimana menjadi muallaf. Fakta yang ditemukan penulis adalah bahwa semua informan memiliki istri atau suami yang terlebih dahulu telah beragama Islam. Termasuk Aw sendiri yang mengatakan bahwa orang-orang Tionghoa menjadi muallaf hanya ada dua faktor, yakni belajar agama Islam atau karena pacaran dengan orang Islam dan akhirnya hamil di luar nikah, kemudian untuk menyelamatkan diri, maka orang Tionghoa itu memeluk Islam. Keputusan untuk memeluk Islam, selain faktor-faktor tersebut di atas juga penting untuk dipahami bahwa dalam pandangan Islam, seseorang menjadi Islam itu merupakan hidayah dan karunia Allah yang tidak bisa dinilai dalam bentuk apapun. Karena menjadi Islam tidak akan terlaksana apabila Allah tidak memberikan hidayahNya. Azhar (ayah Nabi Ibrahim), Kan’an (anak Nabi Nuh), bahkan Abu Thalib dan Abu Lahab (paman Rasulullah) sekalipun tidak bisa diselamatkan dalam Islam, meskipun semuanya merupakan keluarga Nabi dan Rasul. Hal ini seperti firman Allah:

Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya." Allah berfirman: "Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan." (QS: 11: 45-46).

Berdasarkan firman Allah di atas, juga berlaku pada muallaf peranakan etnis Tionghoa di Meulaboh Kabupaten  Aceh Barat. Meskipun peranakan etnis Tionghoa mendapatkan pengetahuan tentang agama Islam dari hasil mempelajari buku, mendengar ceramah, atau mendapatkan suri tauladan dari lingkungan sekitar seperti orang tua atau anak-anak, apabila Allah tidak memberikan hidayah, maka peranakan etnis Tionghoa tersebut tidak akan menjadi Islam. Allah maha mengetahui dan Allah menentukan siapa saja yang akan diberikan hidayah dan diselamatkan dari api neraka, sehingga seseorang itu akan masuk Islam. Semua atas ijin dan kehendak Allah yang MahaEsa, dan Allah akan mengujinya. Ketika peranakan etnis Tionghoa memutuskan untuk menjadi muallaf, ternyata mendapat tantangan yang besar. Keluarganya tidak menyukai kalau ada anggota keluarga yang beragama Islam atau menikah dengan orang Aceh. A. Rani Usman mengatakan:

Menikah silang dengan orang Aceh dahulu sangat ditentang…jika menikah dengan orang Aceh atau masuk agama Islam akan mendapat perlakuan kejam dari keluarga, dicaci maki dan orangtuanya sangat malu.[1]

 

Hal ini juga terjadi pada masyarakat peranakan etnis Tionghoa di Kabupaten Aceh Barat. Untuk itu muallaf peranakan etnis Tionghoa di Aceh Barat harus melakukan adaptasi. Meskipun telah menjadi muallaf dan menikah dengan orang Aceh, namun tidak serta merta identitas Tionghoanya hilang di mata masyarakat Aceh. Hal ini disebabkan karena beberapa muallaf belum bisa menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang muslim. Karena simbol-simbol Islam seperti busana muslim  baju gamis, baju koko, jilbab, peci, dan simbol-simbol Islam lainnya belum dipergunakan, dengan alasan belum menguasai agama Islam.    

Muallaf peranakan etnis Tionghoa juga menyadari bahwa dirinya memerlukan orang lain. Kesadaran ini sebagai impuls (rangsangan) dalam interaksi simbolik, kemudian rangsangan ini memunculkan perception (persepsi) bahwa antara orang Tionghoa dengan orang Aceh ada perbedaan nilai-nilai. Persepsi ini kemudian memunculkan ide untuk manipulation (mengolah) rangsangan dan persepsi agar dirinya sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di Aceh Barat. Tahap terakhirnya adalah melakukan consummation (tindakan) seperti layaknya orang Aceh, yakni melakukan tradisi-tradisi Aceh dalam acara-acara tertentu, dan melakukan aktivitas agama Islam. Namun tantangan untuk kembali kepada agama semula sangat besar, untuk itu pembinaan harus terus dilakukan demi meningkatkan keimanan muallaf.

Kegiatan organisasi baik PITI atau IKM juga menjadi salah satu solusi untuk berinteraksi dan akhirnya dikenali oleh orang banyak, karena organisasi ini memiliki kegiatan-kegiatan yang mempertemukan semua muallaf dari berbagai etnis. Dengan melakukan adat tradisi Aceh, bahkan beragama Islam layaknya orang Aceh, merupakan keberhasilan muallaf peranakan etnis Tionghoa dalam proses adaptasi. Dalam penelitian ini, proses adaptasi nampak dari kemampuan muallaf peranakan etnis Tionghoa dalam menjalankan interaksi, tradisi,  dan kepercayaan (agama) orang Aceh.     



[1] A. Rani Usman, Etnis Cina Perantauan …,  hal. 295.