Model Proses Adaptasi Peranakan Etnis Tionghoa Muallaf di Aceh Barat
Tahap-tahap
adaptasi yang dilakukan peranakan etnis Tionghoa di Aceh Barat, sesuai tahapan
teori interaksi simbolik dapat digambarkan dengan model seperti di bawah:
No |
Aktivitas |
Impuls |
Perception |
Manipulation |
Actions |
1 |
Interaksi dengan orang Aceh (silaturahmi) |
Kesadaran
bahwa setiap orang memerlukan orang lain |
Perbedaan nilai-nilai budaya |
Resosialisasi |
Asosiatif (kerjasama) |
2 |
Tradisi |
Kesadaran
bahwa dirinya bagian dari masyarakat Aceh |
Perbedaan
nilai dalam tradisi baru disadari |
Asimilasi |
Melakukan
tradisi Aceh |
3 |
Kepercayaan |
Kesadaran
dirinya sebagai muallaf yang tidak ada hubungan dekat dengan keluarga besar |
Perbedaan Nilai-nilai, dan norma-norma
baru (islam) |
Pendalaman agama melalui pembinaan |
Melakukan ibadah sesuai agama Islam semampunya |
Gambar 5:
Model Tahapan Adaptasi Muallaf Peranakan Etnis Tionghoa dengan Masyarakat Aceh
di Kabupaten Aceh Barat
Gambar
model di atas merupakan tahapan adaptasi muallaf peranakan etnis Tionghoa di
Kabupaten Aceh Barat pada tentang interaksi, tradisi, dan kepercayaan dengan
masyarakat Aceh. Impuls adalah
rangsangan yang diterima oleh muallaf peranakan etnis Tionghoa, di mana
rangsangan ini cenderung pada kesadaran muallaf bahwa dirinya memerlukan orang
lain, sadar bahwa dirinya merupakan bagian dari masyarakat Aceh, dan sadar
bahwa dirinya adalah muallaf yang sudah tidak ada lagi hubungan dekat dengan
keluarga besar.
Persepsinya mengakui adanya perbedaan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat, yang sangat berpengaruh dalam interaksinya dengan masyarakat Aceh. Untuk itu, perlu melakukan resosialisai, pendalaman mengenai agama Islam, bahkan berasimilasi (menghilangkan kepercayaan lama dan menjadikan Islam sebagai pengganti). Hal itu dilakukan dalam manipulasi atau dalam hal ini mengolah persepsi. Sedangkan langkah terakhir adalah melakukan silaturahmi sebagai wujud nyata interaksi, melakukan tradisi Aceh untuk acara-acara kelahiran, perkawinan dan acara lainnya, serta melakukan ibadah sesuai agama Islam. Ini dilakukan bukan hanya karena merasa menjadi orang Aceh, tetapi memang keluarganya adalah orang Aceh (sebagai istri atau suami orang Aceh) yang memeluk agama Islam.
Pembahasan
Keputusan
beberapa orang dari peranakan etnis Tionghoa menjadi muallaf sesungguhnya tidak
terlepas dari aktivitas dakwah yang dilakukan oleh umat Islam di Aceh Barat.
Dakwah yang dilakukan bukan merupakan dakwah lisan yang langsung mendatangkan
peranakan etnis Tionghoa non muslim dalam suatu tempat, kemudian diberikan
ceramah pemahaman, tetapi lebih kepada dakwah yang mengedepankan sikap dan
tindakan, serta nasihat yang baik. Dakwah dengan lisan mengedepankan tutur kata yang baik, lemah lembut, menyejukkan,
namun tegas dan bijaksana sering terdengar ketika ada ceramah di masjid, dan
ketika orang-orang dalam pergaulannya mengatakan tentang agama Islam, hal ini
dialami oleh Ay.
Mulai dari sini...sampai dengan gambar bagan/model tidak ditampilkan lebih lanjut didiskusikan saat di kelas.
Gambar 6:
Model ........gambar tidak ditampilkan
Semua informan memiliki
kisah dan argumen masing-masing ketika mengutarakan bagaimana menjadi muallaf.
Fakta yang ditemukan penulis adalah bahwa semua informan memiliki istri atau
suami yang terlebih dahulu telah beragama Islam. Termasuk Aw sendiri yang
mengatakan bahwa orang-orang Tionghoa menjadi muallaf hanya ada dua faktor,
yakni belajar agama Islam atau karena pacaran dengan orang Islam dan akhirnya
hamil di luar nikah, kemudian untuk menyelamatkan diri, maka orang Tionghoa itu
memeluk Islam. Keputusan untuk memeluk Islam, selain faktor-faktor tersebut di
atas juga penting untuk dipahami bahwa dalam pandangan Islam, seseorang menjadi
Islam itu merupakan hidayah dan karunia Allah yang tidak bisa dinilai dalam
bentuk apapun. Karena menjadi Islam tidak akan terlaksana apabila Allah tidak
memberikan hidayahNya. Azhar (ayah Nabi Ibrahim), Kan’an (anak Nabi Nuh),
bahkan Abu Thalib dan Abu Lahab (paman Rasulullah) sekalipun tidak bisa
diselamatkan dalam Islam, meskipun semuanya merupakan keluarga Nabi dan Rasul.
Hal ini seperti firman Allah:
Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya." Allah berfirman: "Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan." (QS: 11: 45-46).
Berdasarkan
firman Allah di atas, juga berlaku pada muallaf peranakan etnis Tionghoa di
Meulaboh Kabupaten Aceh Barat. Meskipun
peranakan etnis Tionghoa mendapatkan pengetahuan tentang agama Islam dari hasil
mempelajari buku, mendengar ceramah, atau mendapatkan suri tauladan dari
lingkungan sekitar seperti orang tua atau anak-anak, apabila Allah tidak
memberikan hidayah, maka peranakan etnis Tionghoa tersebut tidak akan menjadi
Islam. Allah maha mengetahui dan Allah menentukan siapa saja yang akan diberikan
hidayah dan diselamatkan dari api neraka, sehingga seseorang itu akan masuk
Islam. Semua atas ijin dan kehendak Allah yang MahaEsa, dan Allah akan
mengujinya. Ketika peranakan etnis Tionghoa memutuskan untuk menjadi muallaf,
ternyata mendapat tantangan yang besar. Keluarganya tidak menyukai kalau ada
anggota keluarga yang beragama Islam atau menikah dengan orang Aceh. A. Rani
Usman mengatakan:
Menikah silang dengan orang Aceh dahulu
sangat ditentang…jika menikah dengan orang Aceh atau masuk agama Islam akan
mendapat perlakuan kejam dari keluarga, dicaci maki dan orangtuanya sangat malu.[1]
Hal ini
juga terjadi pada masyarakat peranakan etnis Tionghoa di Kabupaten Aceh Barat.
Untuk itu muallaf peranakan etnis Tionghoa di Aceh Barat harus melakukan
adaptasi. Meskipun telah menjadi muallaf dan menikah dengan orang Aceh, namun
tidak serta merta identitas Tionghoanya hilang di mata masyarakat Aceh. Hal ini
disebabkan karena beberapa muallaf belum bisa menunjukkan bahwa dirinya adalah
seorang muslim. Karena simbol-simbol Islam seperti busana muslim baju gamis, baju koko, jilbab, peci, dan
simbol-simbol Islam lainnya belum dipergunakan, dengan alasan belum menguasai
agama Islam.
Muallaf
peranakan etnis Tionghoa juga menyadari bahwa dirinya memerlukan orang lain.
Kesadaran ini sebagai impuls (rangsangan)
dalam interaksi simbolik, kemudian rangsangan ini memunculkan perception (persepsi) bahwa antara orang
Tionghoa dengan orang Aceh ada perbedaan nilai-nilai. Persepsi ini kemudian
memunculkan ide untuk manipulation
(mengolah) rangsangan dan persepsi agar dirinya sesuai dengan nilai-nilai dan
norma-norma yang berlaku di Aceh Barat. Tahap terakhirnya adalah melakukan consummation (tindakan) seperti layaknya
orang Aceh, yakni melakukan tradisi-tradisi Aceh dalam acara-acara tertentu,
dan melakukan aktivitas agama Islam. Namun tantangan untuk kembali kepada agama
semula sangat besar, untuk itu pembinaan harus terus dilakukan demi
meningkatkan keimanan muallaf.
Kegiatan
organisasi baik PITI atau IKM juga menjadi salah satu solusi untuk berinteraksi
dan akhirnya dikenali oleh orang banyak, karena organisasi ini memiliki
kegiatan-kegiatan yang mempertemukan semua muallaf dari berbagai etnis. Dengan
melakukan adat tradisi Aceh, bahkan beragama Islam layaknya orang Aceh,
merupakan keberhasilan muallaf peranakan etnis Tionghoa dalam proses adaptasi.
Dalam penelitian ini, proses adaptasi nampak dari kemampuan muallaf peranakan etnis
Tionghoa dalam menjalankan interaksi, tradisi,
dan kepercayaan (agama) orang Aceh.